pendidikan moral di dalam pancasila

 

I. PENDAHULUAN

Kita merasa sangat bersyukur bahwa pendahulu-pendahulu kita, pendiri Republik ini dapat merumuskan secara jelas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita, yang kemudian kita namakan Pancasila. Seperti yang ditujukan dalam ketetapan MPR Nomor : II/MPR/1978, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara kita. Bangsa Indonesia lahir dari sejarah kebudayaannya yang tua, melalui gemilangnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, kemudian mengalami masa penderitaan penjajahan sepanjang tiga setengah abad sampai pada akhirnya bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kembali kemerdekaan nasionalnya, sama tuanya dengan penjajahan itu sendiri.

Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang ditempuhnya sendiri yang merupakan hasil antara proses sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di masa datang, yang secara keseluruhan membentuk kepribadiannya sendiri. Sebab itu bangsa Indonesia lahir dengan kepribadiannya sendiri, yang bersamaan dengan lahirnya bangsa dan negara itu. Kepribadian itu ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara :

Pancasila Bangsa Indonesia lahir dengan kekuatan sendiri, sebab itu percaya pada diri sendiri juga merupakan salah satu ciri kepribadian bangsa Indonesia. Karena itu, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah melalui proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa kita sendiri, dengan melihat pengalaman-pengalaman bangsa lain, dengan diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia, dengan tetap berakar pada kepribadian bangsa kita sendiri dan gagasan-gagasan besar bangsa kita sendiri.

II. PEMBAHASAN

Dalam kaitannya dengan Pancasila pernah dikemukakan pendapat bahwa penggali Pancasila bukan Bung Karno, tetapi Yamin. Ini berdasarkan buku Yamin yang mengatakan bahwa Lima Prinsip Dasar itu telah dikemukakannya sebelum 1 Juni 1945 mendahului Bung Karno yang menyampaikan pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945 di depan BUPKI, sebuah pidato tanpa teks yang kemudian diberi nama Lahirnya Pancasila.

Hasil penelitian1 menemukan bahwa adalah sebuah kebohongan historis bila ada pendapat yang mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang pertama kali mengemukakan Lima Dasar itu, tetapi orang lain. Memang, Bung Karno tidak menempatkan Sila Ketuhanan sebagai yang teratas, tetapi sebagai prinsip pengunci. Pancasila yang ada sekarang adalah hasil rumusan 22 Juni 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta minus tujuh kata yang semula mengiringi Sila Ketuhanan, dalam format ''dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.'' Tujuh kata ini kemudian diganti dengan atribut Yang Maha Esa, yang kabarnya diusulkan Ki Bagus Hadikusomo, tokoh puncak Muhammadiyah ketika itu. Perubahan sila ini berkaitan dengan pemeluk agama di Indonesia bukan hanya Islam saja, melainkan agama-agama lain yang sudah sejak jaman dulu ada, seperti halnya Hindu, Budha, Kristen, Protestan. Kemudian, sila ini menuai atau memunculkan berbagai protes keras dari berbagai pemuka-pemuka agama, karena menganggap bahwa Islam-lah yang hanya diakui oleh bangsa Indonesia. Kemudian dengan berbagai pertimbangan ini sila yang 1  awalnya terformat seperti yang tela dipaparkan diatas, yaitu ''dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.'', diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Resonansi kali ini tidak ingin berpanjang-panjang berbicara tentang proses historis Pancasila ini, sebab seluruh UUD yang pernah dikenal dalam sejarah Indonesia sebelum dan pasca-Proklamasi, tidak ada yang tidak menempatkan Pancasila pada posisi teratas. Tetapi, yang ingin ditegaskan adalah bahwa Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya yang dahsyat itu telah mengalami tragedi demi tragedi, tidak dalam kata, tetapi justru dalam laku. Dalam ungkapan lain, jika kita memperkatakan Pancasila, implementasi nilai-nilai luhur inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian utama, bukan memperdebatkannya secara teoretikal.

Dalam hal Pancasila sebagai paradigma pembangunan sosial budaya, harus dilaksanakan atas dasar kepentingan nasional yaitu terwujudnya kehidupan masyarakat yang demokratis, aman, tentram, dan damai. Pemikiran tersebut bukan berarti bahwa bangsa Indonesia harus steril dari pengaruh budaya asing. Artinya, pengaruh budaya asing harus diterima apabila diperlukan dalam membangun masyarakat Indonesia yang modern.

Berdasarkan pemikiran diatas, maka tidak berlebihan apabila Pancasila merupakan satu-satunya paradigma pembangunan bidang sosial budaya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kesepakatan bangsa Indonesia, bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia. Baik buruknya perencanaan, proses, dan hasil pembangunan bidang sosial budaya harus diukur dengan Pancasila. Meskipun demikian, kita harus menyadari bahwa penggunaan Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial budaya bukan satu-satunya jaminan akan tercapainya keberhasilan secara optimal. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilannya, seperti keyakinan bangsa Indonesia terhadap kebenaran nilai-nilai Pancasila, konsekuen tidaknya bangsa Indonesia melaksanakan Pancasila, pengaruh nilai-nilai asing yang tarsus masuk seiring dengan proses globalisasi. Argumen diatas dapat dilihat dari keberhasilan pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan pada umumnya, bidang sosial budaya pada khususnya. Sepintas kita dapat menyaksikan kehidupan masyarakat yang tenang, tertib, aman, dan damai. Namun dibalik dari kesemuanya itu, pemerintah Orde Baru sebenarnya telah menanam sebuah bom yang sangat kuat dan siap untuk meledak, serta menghancurkan kehidupan masyarakat Indonesia. Ketenangan, ketertiban, keamanan, dan kedamaian yang nampak sesungguhnya bukan hasil proses pembangunan, melainkan hasil dari proses represif kekuasaan oleh pemerintah. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa seperti Tanjung Priok, Semanggi, dan Trisakti.

Kegagalan pembangunan bidang sosial budaya hampir serupa dengan kegagalan pembangunan bidang politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila masyarakat sebenarnya sedang menanti saat yang tepat guna melancarkan tuntutan agar pemerintah melakukan pembaharuan di segala bidang aspek kehidupan. Semua sistem kehidupan yang ada, sebenarnya merupakan realitas yang semu sehingga harus dirombak secara total. Untuk itu, kita harus menyampaikan tegrima kasih kepada para mahasiswa yang telah melakukan koreksi total terhadap tatanan kehidupan sosial yang dibangun pemerintah Orde Baru. Namun, perjuangan para mahasiswa ini belum selesai dan masih harus diteruskan agar proses reformasi yang sedang berjalan mampu memperbaik sistem kehidupan agar sesuai dengan nilai-nilai moral sebagaimana yang terkristal dalam Pancasila. Pendek kata, kekuatan reformasi baru berhasil mengganti kulitnya dan belum berhasil mengganti substansinya Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila harus dihayati dan diamalkan kembali agar dapat menjadi dasar pembangunan bidang sosial budaya. Dalam tataran filsafat, Pancasila pada hakikatnya bersifat humasnistik, artinya ; nilainilai yang terkandung dalam Pancasila pada dasarnya bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Pancasila sebagai paradigma memiliki ciri khas, seperti

(1) Universal, karena mampu melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur, dan (2) Transedental,

karena mampu meningkatkan derajat kemerdekaan manusia dan kebebasan

spiritual (Koentowijoyo, 1986)

III. KESIMPULAN

Dari berbagai pembahasan diatas disimpulkan bahwa Pancasila merupakan salah satu paradigma pembangunan sosial budaya, dan keberhasilan dalam pembangunan sosial budaya yakni Pancasila sebagai paradigma dipengaruhi beberapa faktor, seperti keyakinan bangsa Indonesia terhadap kebenaran nilai-nilai Pancasila, konsekuen tidaknya bangsa Indonesia melaksanakan Pancasila, pengaruh nilai-nilai asing yang terus masuk seiring dengan proses globalisasi. Dalam kaitannya dengan agama, telah ditegaskan dalam sila pertama bahwa setiap agama berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti masing-masing agama yang ada di Indonesia mengakui bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, Penguasa Yang Esa pencipta segalanya. Dan ini merupakan salah satu hal yang bila dikaitkan dengan berbagai perbedaan agama adalah sebagai pemersatu, sehingga titik kesimpulannya adalah bahwa Pancasila itu ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara yang sah. Demikian yang dapat kami ketengahkan dalam makalah ini, kekurangan adalah merupakan hal yang wajar, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca sekalian yang nantinya dapat menyempurnakan makalah ini.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Maarif, Tragedi Pancasila

Drs. H. A.T. Soegito, SH, MM, dkk. Pendidikan Pancasila. hal

191-193.