geologi tanah sunda masa glasial

 PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Dataran Sunda, yaitu dataran pada masalampau (masa glasial) yang terbentang dari Barat keTimur antara Lembah Brahmanadapura di Myanmar sekaranghingga Maluku.Begitu pula dikenal istilah Sunda Besar yang meliputipulau-pulau: Sumatera, Kalimantan, Pulau Jawa, danPulau Madura. Serta Sunda Kecil yangterdiridaripulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, danTimor (sekarang wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat,Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur).

 

B.    Rumusan Masalah

1.    Apa saja yang termasuk dalam geologi tanah sunda?

2.    Apa yang dimaksud busur sunda,palung sunda,dan dangkalan sunda?

3.    Bagaimana tatanan tektonik di tanah sunda?

 

C.    Tujuan

1.     Mengetahui apa saja yang termasuk dalam geologi tanah sunda.

2.    Mengetahui apa yang dimaksud busur sunda,palung sunda,dan dangkalan sunda.

3.    Mengetahui tatanan tektonik di tanah sunda.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. TANAH SUNDA

Tanah Sunda/Dataran Sunda, yaitu dataran pada masalampau (masa glasial) yang terbentang dari Barat keTimur antara Lembah Brahmanadapura di Myanmar sekaranghingga Maluku. Begitu pula dikenal istilah Sunda Besar yang meliputipulau-pulau: Sumatera, Kalimantan, Pulau Jawa, danPulau Madura. Serta Sunda Kecil yang terdiridaripulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, danTimor (sekarang wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat,Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur).

 

B. DANGKALAN SUNDA

Istilah dalam geologi Indonesia untuk menamai dataranatau paparan Indonesia barat; meliputi Pulau Kalimantan, Pulau Sumatra dan pulau-pulau serta

dasar laut transgresi (laut Jawa, Laut Natuna, dibagian selatan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka);sebelum Zaman Pleistosen menjadi satu kesatuan dengan

benua Asia.

Batas daerah dangkalan Sunda di sebelah timur yaitu"Garis Wallace" garis yang melintang mulai dariperairan Timur Pulau Mindanau (Filipina) terus ke laut

Sulawesi, Selat Makasar, Selat Lombok dan berakhir diSamudera Indonesia. Laut-laut transgresi di wilayahDangkalan Sunda berkedalaman rata-rata 200 m.

C. BUSUR SUNDA

Terletak di tepi Asia Tenggara dan terbentang mulai dari kepulauan Andaman-Nicobar di barat sampai busur Banda (Timor) di timur. Busur Sunda merupakan busur kepulauan hasil dari interaksi lempengsamudera (disini lempeng India-Australia yang bergerak ke utaradengan kecepatan 7 cm pertahun) yang menunjam di bawah lempengbenua (Lempeng Eurasia).Penunjaman lempeng terjadi di selatan busur Sunda berupa palung (trench) yang dikenal sebagai palung Jawa.Disamping itu, penunjaman lempeng juga menghasilkan sepasang busurvolkanik dan non-volkanik.

Busur volkanik terdiri dari rangkaian gunungberapi yang menjadi tulang punggung pulau-pulau busurSunda,sedangkan busur nonvolkanik merupakan rangkaian pulau-pulau yangterletak di sisi samudera busur volkaniknya.Rangkaian pulau seperti Siberut, Simeleu, Nias di barat Sumatramerupakan bagian busur non-volkanik yang muncul ke permukaan laut,sedangkan di selatan Jawa busur ini berada di bawah laut.

Busur non-volkanik disusun material-material yang berasal dari daratan, lautdangkal, laut dalam dan kepingan lantai samudera yang terseret,tergencet dan tercampur secara tektonik ketika lempeng samuderamenunjam ke palung.Himpunan batuan yang campur aduk di dalampalung ini, yang disebut melange, membentuk prisma akresi (accretionprism) di sisi dalam palungnya.Panjang palung Jawa, tercatat sekitar 5600 km, terentang mulai dari kepulauan Andaman-Nicobar di barat sampai ke Sumba di Timur,memiliki corak yang beragam. Hal ini disebabkan oleh arah penunjamandan kecepatan lempeng tidak seragam.

Arah penunjaman yang hampertegak lurus di bagian pulau Jawa ke arah timur menghasilkan ragampenunjaman lempeng yang lebih sederhana dibandingkan di bagianSumatra yang membentuk cesar mendatar (sesar Semangko), karenaarah penunjaman lempengnya miring dan bahkan hampir sejajar dibagian kepulauan Andaman.

Disisi lain, selat Sunda yang memisahkan Sumatra dan Jawa,merupakan batas geodinamik dan terdapat perubahan sudutpenunjaman yang menyolok antara bagian timur dan baratnya.Disebelah barat selatSunda, aktifitas gempa umumnya tidak melebihikedalaman 200 km sedangkan di sebelah timurnya kedalaman aktifitasgempanya meningkat mendekati 350-500 km. Unsur geodinamik lainyang dapat mempengaruhi dinamika palung adalah kondisi morfologipermukaan lempeng samuderanya. Permukaan lantai samudera biasrelatif halus atau kasar karena adanya tonjolan-tonjolan yang terdiri darigunung-gunung bawah laut (seamount), pematang tengah samudera,danplato basalt. Dengan demikian menjadi tidak terhindarkan lagipenunjaman lempeng samudera membawa juga seamount atau bentukmorfologi bawah-laut lainnya ke dalam palung.

 

D. PALUNG SUNDA

Di Indonesia bagian barat dan tengah, daerah pertemuan tabrakanlempeng samudera Indo-Australia dengan lempeng benua Asia (Sumatradan Jawa) disebut sebagai daerah ZonaSubduksi atau lebih dikenalsebagai daerah Palung Sunda (Java Trench) yang memanjang kuranglebih 5500 km mulai dari perairan barat Aceh sampai perairan selatanNusa Tenggara Barat. Menurut dia, daerah ini dikenal sebagai daerahPrisma Akresi (Accretionary Prism) atau daerah dimana batuan sedimenyang diendapkan di sekitar Palung telah mengalami pengangkatan

karena tertekan oleh pergerakan lempeng samudera Indo-Australia yangtersubduksi ke bawah Pulau Jawa dan Sumatra.Saat lempeng samudera tersubduksi, batuan sedimen yangdiendapkan di daerah palung tertekan, terpatahkan dan terangkat, daerah yang terangkat bisamuncul ke permukaan laut sebagai busur  kepulauan. Contohnya saja,busur kepulauan yang terdapat di perairan barat Sumatera yangterdistribusi mulai dari Pulau Simeulue sampai ke Pulau Enggano. Prosessubduksi iniakan terus berlangsung dan terus menekandaerah prisma akresi, sehingga mengakibatkan terakumulasinya energitekanan di daerah ini, terutama terkumpul pada bidang batas antaralempeng samudera tersubduksi dengan batuan dasar prisma akresi jauhdi kedalaman bawah permukaan bumi.

Daerah ini sering disebutsebagai daerah Seismogenic Zone. Apabila batuan sediment yangtertekan sudah tidak kuat lagi menahan energi, maka energi tersebut akan dilepaskan. Pelepasan energi oleh batuan tersebut disebut sebagaigempa bumi tektonik yang menggetarkan batuan di daerahsekelilingnya merambat ke segala arah di dalam lapisan bumi sebagaigetaran gempa bumi. Getaran ini sampai ke permukaan bumi baik didarat maupun ke permukaan dasar laut berupa gerakan horizontalmaupun vertikal yang akan merusak infrastruktur yang ada dipermukaan tanah. Saat energi ini dilepaskan, umumnyastruktur batuandi dalam bumi akan terdeformasi dan biasanya diikuti pembentukanpatahan.Patahan tersebut berupa patahan naik (thrust fault)atau patahan normal (normal fault), maupun patahan geser (strike slipfault).

Sebagai contoh pada saat terjadi gempa-tsunami dahsyat di Acehpada tanggal 26 Desember 2004, di bawah daerah prisma akresi Acehtelah terbentuk patahan naik sepanjang kurang lebih 200 – 250 km ataudisebut juga sebagai megathrust fault.Disebutkan, di wilayah Jawa terdapat patahan Cimandiri mulai dariPelabuhan Ratu (Sukabumi) hingga Lembang (Bandung), ke arah timuryang mencapai panjang sekitar 102 km.Selain itu, patahan di sekitar Semarang, juga termasuk patahan aktifsepanjang 20-30 km ke Timur. Sedangkan, mulai wilayah Cirebonmenuju Jakarta terdapat patahan Baribis.''Patahan ini mulai dari Cilacap.hingga Utara, melewati Kuningan, Majalengka kemudian Jakarta.

Sementara di wilayah Jawa Tengah terdapat patahan hingga ke Porong,Sidoarjo, Jawa Timur.Sedangkan, patahan Opak yang menimbulkangempa di Yogya beberapa waktu lalu terdeteksi sepanjang 20 km.

 

E. TATANAN TEKTONIK

Tatanan tektonik sebelah barat Sumatera dan selatan Jawa, didominasi oleh pergerakan ke utara dari tepian aktif lempeng samudera Hindia dan lempeng benua Australia terhadap lempengan Sunda dengan kecepatan sekitar 6-7 cm/tahun. Komponen gerakan lempengan yang relatif tegak lurus terhadap arah batas lempeng sebagian besar membentuk sesar-sesar naik di sepanjang zona subduksi Sumatera dan Java, sedangkan komponen lempeng yang parallel terhadap batas lempeng didominasi oleh terbentuknya sesar-sesar geser pada zona sesar.

Kajian tepian tektonik aktif difokuskan untuk mengidentifikasi bentuk geomorfologi dasar laut dari masing-masing segmen lempeng.Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, seperti zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka.Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik di dunia.

Batas-batas bentuk geomorfologi dasar laut ini sangat jelas terlihat pada rekaman seismic dan citra seabeam.Makin kearah selatan, dasar laut makin banyak mengalami pensesaran normal.Sesar-sesar ini nampaknya lebih intensif makin jauh dari palung laut.Pada sumbu palung, bentuk kerak samudera telah banyak mengalami pensesaran dan membentuk pola-pola horst dan graben secara luas.

Tatanan geologi kelautan Indonesia merupakan bagian yang sangat unik dalam tatanan kelautan dunia, karena berada pada pertemuan paling tidak tiga lempeng tektonik: Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia-Lempeng Samudera India serta Lempeng Benua Asia.

 

Berdasarkan karakteristik geologi dan kedudukan fisiografi regional, wilayah laut Indonesia dibagi menjadi zona dalam (inboard) dan luar (outboard) yang menempati regim zona tambahan (contiguous), Zona Ekonomi Eksklusif dan Landan Kontinen. Bagian barat zona dalam ditempati oleh Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang merupakan sub-sistem dari lempeng benua Eurasia, dicirikan oleh kedalaman dasar laut maksimum 200 m yang terletak pada bagian dalam gugusan pulau-pulau utama yaitu Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (menurut Toponim internasional seharusnya disebut pulau Borneo).

Bagian tengah zona dalam merupakan zona transisi dari sistem paparan bagian barat dan sistim laut dalam di bagian timur.Kedalaman laut pada zona transisi ini mencapai lebih dari 3.000 meter yaitu laut Bali, Laut Flores dan Selat Makasar. Bagian paling timur zona dalam adalah zona sistem laut Banda yang merupakan cekungan tepian (marginal basin) dicirikan oleh kedalaman laut yang mencapai lebih dari 6.000 m dan adanya beberapa keratan daratan (landmass sliver) yang berasal dari tepian benua Australia (Australian continental margin) seperti pulau Timor dan Wetar (Curray et al, 1982, Katili, 2008).

Zona bagian luar ditempati oleh sistem Samudera Hindia, Laut Pasifik, Laut Timor, laut Arafura, laut Filipina Barat, laut Sulawesi dan laut Cina Selatan. Menurut Hamilton (1979), kerumitan dari tatanan fisiografi dan geologi wilayah laut Nusantara ini disebabkan oleh adanya interaksi lempeng-lempeng kerak bumi Eurasia (utara), Hindia-Australia (selatan), Pasifik-Filipina Barat (timur) dan Laut Sulawesi (utara).

Proses geodinamika global (More et al, 1980), selanjutnya berperan dalam membentuk tatanan tepian pulau-pulau Nusantara tipe konvergen aktif (Indonesia maritime continental active margin), dimana bagian luar Nusantara merupakan perwujudan dari zona penunjaman (subduksi) dan atau tumbukan (kolisi) terhadap bagian dalam Nusantara, yang akhirnya membentuk fisiografi perairan Indonesia.

 

F. MODEL TEKTONIK TEPIAN LEMPENG AKTIF

Lempeng samudera bergerak menunjam lempeng benua membentuk zona penunjaman aktif, sehingga wilayah perairan Indonesia di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa disamping mempunyai potensi aspek geologi dan sumberdaya mineral juga berpotensi terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami, longsoran pantai dan gawir laut).

Di bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan dibagian timurnya atau sebalah barat terbentuk jalur punggungan lurus utara – selatan yang disebut Ninety East Ridge  (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur) merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Bagian yang dalam membentuk cekungan kerak samudera yang terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India membentuk Bengal Fan hingga ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara 2.000 – 3.000 meter (Ginco, 1999). Daerah Pematang Tengah Samudra pada Lempeng Indo-Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading (Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir dengan kecepatan 6-7 cm/tahun,

Sebelumnya pada Oligosen awal hanya5cm/tahun (Katili, 2008).Memperlihatkan bentuk ideal geomorfologi pada tepian lempeng aktif adalah mengikuti proses-proses penunjaman yaitu palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al, 2007).

 

Gambar Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif (Hamilton, 1979)

Hasil identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra seabeam dan foto dasar laut maka dapat dikenali beberapa bentuk geomorfologi utama yang umum terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif.Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, yaitu zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 SIMPULAN

    Batas penunjaman lempeng samudera India dengan lempeng Eurasia secara tegas membentuk satuan geomorfologi palung samudera dengan kedalaman antara 6.000-7.000 meter yang arahnya tegak lurus terhadap arah penunjaman.

     Sebagai konsekuensi logis penunjaman lempeng samudera yang mempunyai densitas lebih tinggi dibandingkan lempeng benua maka terbentuk satuan geomorfologi prisma akresi yang merupakan proses campur-aduk dimana terjadi deformasi dasar laut secara besar-besaran. Proses geologi yang umum terjadi adalah perlipatandan sesar-sesar naik yang disertai dengan proses pengangkatan. Sesar-sesar normal dan mendatar banyak dijumpai pada daerah yang jauh dari palung samudera terutama pada punggungan dan tepian cekungan.

     Cekungan busur muka terbentuk antara punggungan busur muka dan busur gunungapi dimana proses sedimentasi dominan berasal dari bagian kontinen, sehingga umumnya membentuk geomorfologi cekungan memanjang a-symetri.

    Gambaran geomorfologi dasar laut di tepian lempeng aktif di barat Sumatera dan selatan Jawa memperlihatkan batas satuan yang jelas dan tegas sehingga merupakan contoh bentuk geomorfologi zona penunjaman yang terbaik di 

pengertian hukum pajak

 

  1. Pengertian Hukum Pajak

1.      Pengertian Secara Global

Hukum selalu berada di tengah-tengah masyarakat, tidak lepas dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, membicarakan hukum tidak dapat lepas dari membicarakan kehidupan manusia atau pun kehidupan bermasyarakat. Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia yang satu selalu berhubungan dengan manusia yang lain. Hubungan tersebut akan menimbulkan interaksi yang dapat berupa hubungan yang menyenangkan atau selaras dan dapat juga menimbulkan interaksi yang saling bertentangan atau menimbulkan konflik. Hubungan antar manusia yang selaras atau pun yang menimbulkan konflik tersebut disebabkan karena adanya kepentingan manusia yang satu dengan yang lain berbeda dan kadang-kadang sama.

Konflik yang terjadi akibat hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain harus dicegah dan tidak dibiarkan terus berlangsung atau berlarut-larut. Manusia akan selalu menghendaki agar tatanan dalam masyarakat selalu seimbang dan tertib, aman dan damai. Keseimbangan, ketertiban, keamanan dan kedamaian tersebut dapat diwujudkan apabila terdapat norma atau kaidah yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku atau bertindak, agar tingkah laku atau tindakan itu tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman, tuntutan, patokan,atau ukuran untuk bertindak dan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat tersebut disebut dengan norma atau kaedah sosial (Sudikno Mertokusumo, 1988 : 1-4). Kaedah atau norma sosial merupakan pedoman atau tuntunan bagaimana seseorang harus bertingkah laku, bersikap, atau bertindak dan bagaimana seseorang dianjurkan untuk bertindak, bersikap atau bertingkahlaku dan perbuatan, tindakan atau sikap yang bagaimana yang tidak boleh dilakukan.

Di dalam pergaulan masyarakat terdapat bentuk-bentuk kaedah atau norma sosial yang tumbuh dan berkembang serta diataati yaitu kaedah atau norma keagamaan, kaedah kesusilaan, kaedah kesopanan dan kaedah hukum. Kaedah keagamaan ditujukan kepada manusia dalam kehidupan keagamaan untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yaang Maha Esa. Kaedah ini memberikan pedoman, patokan, tuntunan untuk bertingkah laku dalam hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri dan sesama manusia yang lain. Kaedah kesusilaan memberikan pedoman, patokan, tuntunan bagaimana seseorang harus atau dianjurkan untuk bertingkah laku, bertindak dalam hubungannya dengan manusia lain yang menyangkut kehidupan pribadi manusia. Pendukung kaedah kesusilaan ini adalah nurani individu dan bukan dalam status manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Kaedah kesopanan memberikan pedoman, tuntunan dan patokan kepada manusia untuk bersikap demi tertibnya kehidupan bermasyarakat dan bertujuan untuk menciptakan perdamaian antar manusia yang bersifat lahiriah (Sudikno Mertokusumo, 1988 : 8). Dari ketiga kaedah tersebut masyarakat belum merasa terlindungi apabila kaedah atau norma sosial tersebut dilanggar. Oleh karena itu, dirasa perlu adanya norma lain yang lebih memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan, sehingga muncullah kaedah yang lain yaitu kaedah atau norma hukum. Kaedah atau norma hukum tersebut melindungi kepentingan-kepentingan manusia lebih lanjut dari perlindungan yang belum didapat dari ketiga kaedah atau norma sosial yang lain. Kaedah atau norma hukum tersebut dalam pergaulan kemasyarakatan disebut dengan hukum, yang memuat suatu penilaian mengenai perbuatan tertentu, yang nampak dalam bentuk suruhan atau perintah dan larangan serta adanya ancaman sanksi bagi pelanggarnya.

Menurut Radbruch, hukum harus mengandung nilai-nilai dasar yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan atau kegunaan (zweekmaszigkeit). Jadi suatu hukum yang dibentuk harus mewujudkan adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta menuju pada keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan dan oleh karenanya digolongkan ke dalam norma kultur (Satjipto Rahardjo, 1996 : 27).

Jadi hukum pada umumnya adalah keseluruhan atau kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan adanya kekuatan sanksi.

Definisi lain dari hukum dikemukakan oleh van Vollenhoven yang mengemukakan bahwa hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan bentur membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya (C. van Vollenhoven, 1981: 6). Lemaire mengatakan, hukum itu mempunyai banyak segi serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif (van Apeldoorn, 1983 : 13). Dari berbagai pengertian hukum sebagaimana diuraikan di atas maka dapat diketahui bahwa hukum mempunyai banyak dimensi yang sulit untuk disatukan, karena masing-masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) pengertian dasar (Satjipto Rahardjo, 1986: 6), yaitu : Pertama, hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak, sehingga konsekuensi metodologinya adalah bersifat filosofis. Kedua, hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak, sehingga fokus perhatiannya pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yang bisa dibicarakan sebagai subjek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat normatif-analitis. Ketiga, hukum dipahami sebagai sarana/alat untuk mengatur masyarakat, sehingga metodologinya adalah metode sosiologis. Hukum sebagai kumpulan peraturan mempunyai isi yang bersifat umum (karena berlaku bagi setiap orang, tidak pandang bulu) dan normatif (karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah). Jadi, hukum mengandung aturan-aturan yang memuat perintah, larangan dan juga memberikan wewenang. Dalam hukum yang penting bukanlah apa yang terjadi (sein), tetapi apa yang seharusnya terjadi (sollen).

Montesquieu menyampaikan gagasannya mengenai bagaimana membuat hukum yang baik, yang intinya dikatakan bagaimana seharusnya hukum itu dibuat adalah sebagai berikut (Allen, 1964 : 467 – 468, Satjipto Rahardjo, 1996 : 180) :

1) Gaya penuturannya atau uraian kalimatnya hendaknya padat dan sederhana;

2) Istilah-istilah yang dipilih dan dipakai sedapat mungkin bersifat mutlak dan tidak relatif, sehingga mempersempit atau meminimalisir kemungkinan adanya perbedaan pendapat;

3) Hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang aktual, menghindari penggunaan perumpamaan atau bersifat hipotetis;

4) Hendaknya tidak dibuat rumit, sebab dibuat untuk orang kebanyakan, jangan membenamkan orang ke dalam persoalan logika, tetapi sekedar bisa dijangkau oleh penalaran orang kebanyakan;

5) Janganlah masalah pokok yang dikemukakan dikaburkan oleh penggunaan perkecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali memang benar-benar diperlukan;

6) Jangan berupa penalaran (argumentative);

7) Isinya hendaknya dipikirkan secara masak terlebih dahulu serta janganlah membingungkan pemikiran serta rasa keadilan biasa dan bagaimana umumnya sesuatu itu berjalan secara alami.

Meskipun pendapat tersebut telah dikemukakan lebih dari dua ratus tahun (dalam “L Esprit des Lois “, 1748), namun pendapat ini masih patut juga untuk disimak. Kehadiran hukum di dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengelola, mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain dalam pergaulan masyarakat. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan dan mengkoordinasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut disebut dengan hak.

Hadirnya hukum dalam pergaulan masyarakat mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Dari beberapa literatur dapat disimpulkan adanya beberapa teori tentang tujuan lahirnya atau dibentuknya hukum, yaitu (Esmi Warassih, 2005 : 24-25) :

1) Teori Etis

Menurut teori ini, hukum semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Menurut penganut teori ini, hakikat keadilan itu terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.

Aristoteles membedakan keadilan ke dalam 2 (dua) macam, yaitu keadilan distributif (justisia distributive) dan keadilan komutatif (justisia commutative). Keadilan distributif menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, sedangkan keadilan komutatif menghendaki agar setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan) yang menyamakan (Esmi Warassih, 2005 : 24)

2) Teori Utilitarian

Penganut teori ini di antaranya adalah Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greates good of the greatest number). Pada hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.

3) Teori Campuran.

Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat pada zamannya.

Berbagai tujuan yang hendak diwujudkannya dalam masyarakat melalui hukum yang dibuat itu, sekaligus menyebabkan tugas maupun fungsi hukum pun semakin beragam. Secara garis besar tujuan-tujuan tersebut meliputi pencapaian masyarakat yang tertib dan damai, mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan atau kesejahteraan (Esmi Warassih, 2005 : 27). Tujuan hukum tersebut dapat dicapai dengan cara mengalokasikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

Hak yang dimiliki seseorang selalu berhadapan dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak lain, sehingga hak selalu berhadapan dengan kewajiban. Hak itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban, sehingga yang menonjol adalah segi aktif dalam hubungan hukum itu, yaitu hak (Knottenbelt, 1979 : 47). Hak dan kewajiban bukan merupakan kumpulan peraturan atau kaidah, melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pihak lawan. Hak dan kewajiban ini merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum. Jika dibandingkan dengan hukum atau peraturan, maka hukum sifatnya adalah umum karena berlaku bagi setiap orang, sedangjkan hak dan kewajiban lebih bersifat individual, dan melekat pada individu.

Ciri-ciri dari hak yang diberikan oleh hukum adalah sebagai berikut (Fitzgerald, 1966 : 221, Satjipto Rahardjo, 1996 : 55) :

1) Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut dengan pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.

2) Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.

3) Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pada pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission) sesuatu perbuatan.

4) Commission atau ommission menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak.

5) Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.

Hak-hak dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok (Curzon, 1979 : 218 – 219, Satjipto Rahardjo, 1996 : 61) sebagai berikut :

1) Hak-hak yang sempurna dan hak yang tidak sempurna.

Hak yang sempurna adalah hak yang dapat dilaksanakan melalui hukum seperti kalau perlu melalui pemaksaan oleh hukum. Hak yang tidak sempurna adalah hak yang diakui oleh hukum, tetapi tidak selalu dilaksanakan oleh pengadilan, seperti hak-hak yang dibatasi oleh lembaga daluwarsa.

2) Hak-hak utama dan tambahan.

Hak utama adalah hak yang diperluas oleh hak-hak lain, sedang hak tambahan adalah hak yang melengkapi hak-hak utama, seperti perjanjian sewa menyewa tanah yang memberikan hak tambahan kepada hak utama dari pemilik tanah.

3) Hak-hak publik dan perdata.

Hak publik adalah hak yang ada pada masyarakat pada umumnya,yaitu negara. Hak perdata adalah hak yang ada pada perorangan, seperti hak seseorang untuk menikmati barang yang dimilikinya.

4) Hak-hak positif dan negatif.

Hak positif menuntut dilakukan perbuatan-perbuatan positif dari pihak tempat kewajiban korelatifnya berada, sepperti hak untuk menerima keuntungan pribadi.

5) Hak-hak milik dan pribadi.

Hak-hak milik berhubungan dengan barang-barang yang dimiliki oleh seseorang yang biasanya bisa dialihkan. Hak-hak pribadi berhubungan dengan kedudukan seseorang yang tidak pernah bisa dialihkan. Berikutnya mengenai kewajiban dapat dikelompokkan sebagai berikut : (Curzon, 1979 : 215 – 216 dan Satjipto Rahardjo, 1996 : 61).

1) Kewajiban-kewajiban yang mutlak dan nisbi.

Menurut Austin, kewajiban yang mutlak adalah kewajiban yang tidak mempunyai pasangan hak, seperti kewajiban yang tertuju kepada diri sendiri; yang diminta oleh masyarakat pada umumnya; yang hanya ditujukan kepada kekuasaan (sovereign) yang membawahinya. Kewajiban nisbi adalah kewajiban yang melibatkan hak di lain pihak.

2) Kewajiban-kewajiban publik dan perdata.

Kewajiban publik adalah kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak publik, seperti kewajiban untuk mematuhi hukum pidana. Kewajiban perdata adalah kewajiban yang berkorelatif dengan hak-hak perdata, seperti kewajiban yang timbul dari perjanjian.

3) Kewajiban-kewajiban yang positif dan yang negatif.

Kewajiban positif adalah kewajiban yang menghendaki dilakukannya perbuatan positif, seperti kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembelinya. Kewajiban negatif adalah kewajiban yang menghendaki agar suatu pihak tidak melakukan sesuatu, seperti kewajiban seorang untuk tidak melakukan sesuatu yang mengganggu milik tetangganya.

4) Kewajiban-kewajiban universal, umum dan khusus.

Kewajiban universal adalah kewajiban yang ditujukan kepada semua warga negara, seperti yang timbul dari Undang-Undang. Kewajiban umum adalah kewajiban yang ditujukan kepada segolongan orang-orang tertentu, seperti orang asing, orang tua (ayah, ibu). Kewajiban khusus adalah kewajiban yang timbul dari bidang hukum tertentu, seperti kewajiban dalam hukum perjanjian.

5) Kewajiban-kewajiban primer dan yang bersifat memberi sanksi.

Kewajiban primer adalah kewajiban yang tidak timbul dari perbuatan yang melawan hukum, seperti kewajiban seseorang untuk tidak mencemarkan nama baik orang lain yang dalam hal ini tidak timbul dari pelanggaran terhadap kewajiban lain sebelumnya. Kewajiban yang bersifat memberi sanksi adalah kewajiban yang semata-mata timbul dari perbuatan yang melawan hukum, seperti kewajiban tergugat untuk membayar gugatan pihak lain yang berhasil memenangkan perkara. Kehadiran hukum pajak dalam pergaulan masyarakat juga bertujuan untuk menemukan keadilan, ketertiban dan kedamaian dalam bidang perpajakan, sehingga dalam hukum pajak juga mengatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak, yaitu negara sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai wajib pajak. Jadi pihak-pihak dalam hukum pajak adalah pihak yang satu, masyarakat yang direpresentasikan oleh negara dan pihak yang lain adalah warga negara atau perorangan, termasuk di dalamnya adalah badan. Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang memberikan hak kepada negara untuk memungut pajak kepada rakyat atau wajib pajak, tanpa ada imbalan yang langsung dapat ditunjuk, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan ancaman sanksi dan digunakan untuk biaya rutin dan pembangunan.

 

2.      Pengertian Hukum Pajak Secara Spesifik

R. Santoso Brotodihardjo menyatakan bahwa hukum pajak yang juga disebut hukum fiscal adalah keseluruhan dari peraturan–peraturan yang meliputi wewenang Pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (Wajib Pajak). Rochmat Soemitro menyatakan hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan – peraturan yang mengatur hubungan hukum antara Pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan :

(1) Siapa yang menjadi Wajib Pajak atau subyek pajak;

(2) Apa kewajiban mereka terhadap Pemerintah;

(3) Hak – hak Pemerintah;

(4) Objek-objek yang dikenakan pajak;

(5) Timbul dan hapusnya hutang pajak;

(6) Cara penagihan hutang pajak;

(7) Cara mengajukan keberatan / banding;

(8) Dan lain-lain.

Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pajak adalah termasuk hukum publik (mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang/badan termasuk badan hukum).

3.      Kedudukan Hukum Pajak

Di muka telah dikatakan bahwa hukum pajak adalah sebagian dari hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara penguasa atau Pemerintah dengan warganya. Termasuk dalam hukum publik adalah: hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara (sedangkan Hukum Pajak merupakan anak bagian dari Hukum Administrasi Negara).

Mengenai kedudukan Hukum Pajak dalam tata hukum Indonesia, PJA. Andriani menyatakan bahwa bagaimanapun juga lebih tepat memberi tempat sendiri untuk Hukum Pajak di samping (sederajat dengan) Hukum Administrasi Negara . Dasar pertimbangan pendapat yang menyatakan bahwa Hukum Pajak harus ditempatkan sejajar dengan Hukum Administrasi Negara (HAN) tersebut adalah :

1) Tugas Hukum Pajak bersifat lain dari pada Hukum Administrasi Negara pada umumnya.

2) Hukum pajak dapat secara langsung digunakan sebagai sarana politik perekonomian.

3) Hukum pajak memiliki tata tertib dan istilah-istilah yang khas untuk bidang pekerjaannya.

4.      Pembagian Hukum Pajak

Seperti halnya pada bentuk hukum yang lain seperti hukum perdata, hukum pidana, maka Hukum pajak dapat juga dibagi dalam Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil.

1) Hukum Pajak Materiil

Hukum Pajak Materiil adalah kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan dari suatu peraturan perundang-undangan pajak yang berkenaan dengan isi dari peraturan perudang-undangan yang bersangkutan. Hukum Pajak Material menerangkan tentang Subjek, Objek atau tarip Pajak. Di samping itu juga menerangkan arti dari suatu istilah seperti arti penghasilan / barang kena pajak , bumi dan bangunan, dokumen , dan sebagainya. Contoh bentuk Hukum Pajak Materiil :

a. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.

c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

2) Hukum Pajak Formil.

Hukum Pajak Formil adalah kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan dari suatu peraturan perundang-undangan pajak yang berkenaan dengan cara bagaimana Hukum Pajak Materiil dilaksanakan. Contoh bentuk Hukum Pajak Formil adalah :

a. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

Hukum Pajak Formil menerangkan tentang hak dan kewajiban wajib pajak, hak dan kewajiban fiscus, dan lain-lain. Hak wajib pajak dapat dilihat dalam UUKUP, yaitu :

a. Meminta restitusi;

b. Mengajukan keberatan;

 

c. Mengajukan banding, dan lain-lain.

Kewajiban wajib pajak sebagaimana diuraikan dalam UUKUP adalah sebagai berikut :

a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

b. Mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dengan benar; lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

c. Mengadakan pencatatan atau pembukuan;

d. Membayar Pajak terhutang wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dan lain-lain.

Hak Fiskus diatur dalam UUKUP yaitu sebagai berikut :

a. Melakukan pemeriksaan;

b. Mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak;

c. Mengeluarkan Surat Tagihan Pajak;

d. Mengeluarkan Surat Paksa, dan lain-lain.

Kewajiban Fiskus yang ditetapkan dalam UUKUP adalah sebagai berikut :

a. Memberikan Keputusan atas keberatan pajak dari wajib pajak;

b. Mengembalikan kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak;

c. Merahasiakan wajib pajak , dsb.

5.      Tugas dan Sasaran Hukum Pajak

Tugas dari hukum pajak adalah menelaah keadaan–keadaan dalam masyarakat untuk kemudian dibuat / disusun peraturan-peraturan hukum (pajak), sedangkan yang menjadi sasarannya adalah Tatbestand yaitu segala perbuatan keadaan atau peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak. Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan utang pajak ? Menurut Hukum Perdata, utang adalah perikatan, yang mengandung kewajiban bagi salah satu pihak untuk melakukan sesuatu (prestasi) atau untuk tidak melakukan sesuatu, yang menjadi hak pihak lainnya. Kewajiban Subjek Hukum sebagai salah satu pihak dalam suatu perikatan akan berhadapan dengan haknya. Pengertian Utang dalam Hukum Perdata dapat mempunyai arti luas dan sempit. Utang dalam arti luas adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh yang berkewajiban sebagai konsekuensi dari perikatan, seperti menyerahkan barang, membuat lukisan, dan sebagainya. Dengan kata lain pengertian utang dalam arti luas ini adalah sama dengan perikatan. Utang dalam arti sempit adalah perikatan sebagai akibat dari perjanjian khusus yaitu utang piutang yang mewajibkan debitur untuk membayar (kembali) jumlah uang yang telah dipinjamnya dari kreditur.

Pajak atau utang pajak tergolong dalam utang (uang) dalam arti sempit yang mewajibkan wajib pajak (debitor) untuk membayar suatu jumlah uang dalam kas negara (kreditor). Jadi utang pajak adalah utang yang timbulnya secara khusus, karena Negara (kreditor) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas, siapa yang akan dijadikan debiturnya, seperti dalam hukum perdata. Hal ini terjadi karena utang pajak timbul karena undang-undang.

  1. DASAR PEMBENARAN PEMUNGUTAN PAJAK OLEH NEGARA

Dalam membicarakan tentang dasar pembenaran pemungutan pajak oleh negara kepada rakyatnya maka masalah atau pertanyaan yang dihadapi adalah mengapa negara memungut pajak kepada rakyatnya ? Dengan kata lain dapat dipertanyakan juga, atas dasar apa negara memungut pajak kepada rakyatnya ? Atau dengan perkataan lain juga untuk kepentingan siapa pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara itu, sehingga negara seakan-akan memberi hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan apa yang disebut pajak itu ? Permasalahan/pertanyaan di atas sudah dibicarakan sejak abad ke 18 yang ditandai dengan munculnya teori-teori yang memberikan alasan pembenar bagi negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. Teori-teori tersebut didengung-dengungkan oleh penciptanya maupun pengikut-pengikutnya kepada anggota masyarakat atau rakyat dengan maksud agar segala peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pajak dinsafi dan ditaati berlakunya. Mengenai dasar / alasan pembenar bagi negara untuk memungut pajak dari rakyatnya dapat dilihat dari dasar atau alasan pemungutan pajak yang dapat dipisahkan ke dalam :

Pertama, pemungutan pajak adalah untuk kepentingan pemungut; Kedua, pemungutan pajak adalah untuk kepentingan yang dipunguti; Ketiga, pemungutan pajak adalah untuk kepentingan kedua-duanya, yaitu pemungut dan yang dipungut.

  1. Pemungutan Pajak untuk Kepentingan Pihak Pemungut

Pemungut yang dimaksud di sini adalah seperti raja, penguasa atau penjajah. Dasar pembenar dan dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara. Negara dibentuk karena adanya persekutuan individu sehingga individu harus membaktikan dirinya pada negara melalui pembayaran pajak.

Pemungutan pajak untuk kepentingan pemungut ini didasarkan pada “orgaantheori” dari Von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan suatu kesatuan yang didalamnya setiap warga negara terikat, tanpa ada organ atau lembaga (negara) tersebut maka individu tidak mungkin dapat hidup (Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004 : 29-30).

Lembaga/organ yang karena memberi hidup kepada warganya tersebut maka ia (raja/penguasa atau negara) dapat membebani kepada setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban antara lain adalah kewajiban membayar pajak. Dengan kata lain seorang warga negara dikatakan berbakti kepada negara, jika rakyat selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban atau sebagai darma bakti. Rakyat harus membaktikan diri kepada lembaga / organ yang memberi hidup, sehingga teori ini dikenal dengan TEORI BAKTI.

Menurut teori ini hakekat negara diterima sebagai suatu organisasi paksaan, sehingga atas dasar itulah maka rakyat dipungut pajak. R. Santoso Brotodiharjo, SH menyebut teori bakti ini dengan TEORI KEWAJIBAN PAJAK MUTLAK.

WH. Van den Berge termasuk penganut teroi ini, menyatakan bahwa negara sebagai : “Groupsverband” (organisasi dari golongan) dengan memperhatikan syarat-syarat keadilan bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya, termasuk juga tindakan-tindakan dalam lapangan pajak (Santoso Brotodihardjo, 1982 : 31).

  1. Pemungutan Pajak untuk Kepentingan Pihak yang Dipungut (Pembayar Pajak)

Pendapat ini pada dasarnya berasal dari falsafah liberalisme. Dalam falsafah liberalisme, antara kepentingan rakyat dan kepentingan negara terpisah. Dalam falsafah liberalisme diajarkan bahwa penyediaan dana-dana yang diperlukan oleh penguasa negara seharusnya diambil dari harta negara sendiri. Jadi, kalau negara memungut pajak dari rakyat adalah bukan untuk kepentingan Negara melainkan justru untuk kepentingan rakyat yang dipungut pajak tersebut. Campur tangan negara dalam kehidupan rakyat memang dapat dibenarkan, tetapi hanya terbatas sampai sejauhmana campur tangan itu memang diperlukan guna kepentingan rakyat. Dari paham liberalisme ini muncul teori-teori pemajakan yang menekankan bahwa pemungutan pajak adalah untuk kepentingan yang dipungut (rakyat). Teori-teori tersebut adalah :

1. Teori Badan Umum

Teori ini menghubungkan hakekat pembayaran pajak sama dengan pembayaran iuran oleh para anggota dari suatu perkumpulan / badan umum. Kalau suatu badan umum atau perkumpulan melayani kepentingan anggota-anggotanya maka adalah wajar apabila anggota-anggotanya tersebut juga membayar iuran, karena pembayaran iuran tersebut manfaatnya akan kembali lagi pada anggota. Oleh karena itu, pembayaran pajak oleh warga negara kepada negara tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kepentingan warga negara sendiri seperti halnya pembayaran iuran oleh seorang anggota pada suatu perkumpulan / badan umum seperti tersebut di atas.

2. Teori Asuransi

Menurut teori ini hakekat pembayaran pajak adalah sama dengan pembayaran premi asuransi dalam perjanjian asuransi (pertanggungan). Seseorang yang menutup perjanjian asuransi pada dasarnya melakukan perbuatan itu adalah untuk kepentingan dirinya sendiri atau ahli warisnya. Dengan pembayaran premi asuransi oleh tertanggung, tiada lain adalah dimaksudkan untuk kepentingan dirinya sendiri atau ahli warisnya. Hal inilah yang dimaksud dengan pemungutan pajak adalah untuk kepentingan yang dipungut atau pihak yang membayar pajak. Teori asuransi ini apabila dikaitkan dengan kewajiban pembayaran pajak mengandung kelemahan-kelemahan, yaitu :

a. Bila risiko atau kerugian terjadi / dialami oleh si pembayar pajak maka tidak ada penggantian ganti rugi dari pemerintah kepada pembayar pajak tersebut. Hal tersebut berbeda dengan prinsip dalam perjanjian asuransi, jika si tertanggung mengalami kerugian, maka pihak yang menerima pembayaran premi (perusahaan asuransi atau penanggung) harus membayar ganti rugi kepada pembayar premi (tertanggung).

b. Teori ini melupakan adanya unsur paksaan dalam pembayaran pajak.

Dalam lembaga asuransi yang bersifat keperdataan tidak ada paksaan agar seseorang akan mengadakan atau membuat perjanjian asuransi dengan pihak perusahaan asuransi (penanggung), sedangkan dalam pembayaran pajak terdapat unsur paksaan dari pemungut (pemerintah), wajib pajak (rakyat yang memenuhi syarat membayar pajak) wajib membayar pajak, dan jika tidak dipenuhi maka dapat diberikan sanksi (sanksi pidana atau pun sanksi administrasi).

c. Teori asuransi menggunakan hakekat pembayaran pajak sama dengan pembayaran retribusi, padahal antara keduanya tidak sama. Pembayar retribusi menerima balas jasa langsung yang dapat ditunjuk dari pemerintah (misalnya : dalam pembayaran retribusi parkir, pembayar retribusi mendapat imbal jasa berupa lahan / tempat untuk parkir, pembayar retribusi sampah maka pembayar retribusi mendapatkan fasilitas tempat pembuangan sampah, dan lain-lain), sedangkan dalam pembayaran pajak, pembayar pajak (wajib pajak) yang telah membayar pajak tidak mendapat balas jasa langsung yang dapat ditunjuk yang diberikan oleh fiscus atau pemerintah.

3.      Pemungutan Pajak untuk Kepentingan Pihak Pemungut dan yang Dipungut (Masyarakat)

1. Teori Daya Beli

Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak jika dipandangnya sebagai gejala sosial dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari sebagian anggota masyarakat (rumah tangga-rumah tangga dalam masyarakat) untuk rumah tangga Negara dan kemudian menyalurkannya (disemprotkan) kembali ke masyarakat (umum) dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan membawanya ke arah tertentu. Jadi, negara adalah penyelenggara berbagai kepentingan yang mendukung kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara, melainkan untuk kepentingan masyarakat yang meliputi kedua-duanya, yaitu pembayar pajak dan pemerintah.

 

 

2. Teori Deviden

Teori ini menyatakan bahwa kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Pemungutan pajak adalah pemungutan / pengambilan harta negara sendiri yang sedang berada di tangan penduduk. Pajak adalah dividen milik negara. Jadi, negara adalah sebagai pemegang saham. Teori deviden mengatakan bahwa pada hakekatnya pemungutan pajak oleh negara adalah sama dengan pengambilan dividen oleh seorang pesero yang menanamkan sahamnya dalam suatu perusahaan. Jelasnya negara sebagai pemungut pajak merupakan pesero / pemegang saham, sedangkan wajib pajak merupakan pemilik perusahaan yang di dalamnya terdapat saham negara. Pertanyaan yang muncul adalah, dalam bentuk apa dan kapan negara menanamkan modal / sahamnya pada rakyat. Guna memperjelas teori tersebut maka dapat dikemukakan contoh ilustrasi sebagai berikut : Apabila negara mengadakan / menyelenggarakan jaringan lalu lintas umum, keamanan, jaringan komunikasi, jasa-jasa pekerjaan umum dan berbagai fasilitas lainnya yang kesemuanya itu dibiayai harta negara, maka secara ilmu ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut dapat diambil manfaatnya baik di dalam maupun di sekitar daerah operasional dari suatu perusahaan atau setidak-tidaknya merupakan syarat dasar membuka kemungkinan dilaksanakannya kegiatan di bidang-bidang lainnya yang pada akhirnya memberikan keuntungan yang diharapkan. Keuntungan yang diperoleh oleh suatu perusahaan ataupun seseorang yang melakukan kegiatan-kegiatan bukanlah seluruhnya berasal dari faktor internal yang dimilikinya melainkan juga karena faktor eksternal yang berasal dari harta negara tadi. Negara yang menyediakan fasilitas-fasilitas umum yang dibiayai dari harta negara itulah yang dianggap sebagai modal atau saham yang ditanamkan pada rakyat. Fasilitas-fasilitas tersebut sangat berpengaruh pada kegiatan-kegiatan baik di bidang ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena itu, adalah wajar dan adil apabila sebagian dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan atau seseorang diserahkan kepada negara dalam bentuk pembayaran pajak. Teori-teori yang menjadi dasar pembenar pemungutan pajak oleh negara kepada rakyatnya tersebut mendasarkan pada tujuan dari pemungutan pajak, yaitu apakah pemungutan pajak untuk kepentingan pemungut, untuk kepentingan yang dipungut, atau untuk kepentingan kedua-duanya.

Apabila kita melihat Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dan menjadi landasan filosofis semua kegiatan penyelenggaraan negara, maka pemungutan pajak oleh negara kepada rakyatnya tersebut dapat dibenarkan jika kita mengacu pada sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima Pancasila tersebut mengandung makna bahwa kita perlu mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan.

Pajak adalah salah satu bentuk perbuatan gotong royong yang tidak perlu disyaratkan, melainkan sudah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang hanya perlu dikembangkan dan dilestarikan saja. Gotong royong, termasuk di dalamnya membayar pajak merupakan salah satu pengorbanan setiap anggota masyarakat untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Jadi, pemungutan pajak menurut Pancasila dapat dibenarkan, karena pembayaran pajak akhirnya adalah untuk kita bersama.

  1. PEMBAGIAN BEBAN PAJAK

Membicarakan masalah pembagian beban pajak tidak akan terlepas dari falsafah keadilan, sebab bagaimanapun juga pemungutan pajak merupakan realisasi dari pengorbanan penduduk pembayar pajak guna kepentingan umum. Oleh karena itu, disamping falsafah dasar keadilan pemungutan pajak diperlukan pembagian pajak yang seadil-adilnya. Menurut Aristoteles keadilan di samping dinilai sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan kepada hukum alam dan hukum positif), juga sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada bidang tertentu. Sebagai keutamaan khusus keadilan itu ditandai oleh sifat-sifat sebagai berikut (Theo Huijbers, 1988 : 29):

1) Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang yang satu dengan yang lain.

2) Keadilan berada di tengah ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan terciptalah keseimbangan antara kedua pihak : jangan orang mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga mengutamakan pihak lain.

3) Untuk menentukan di manakah terletak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan.

Dengan terciptanya keadilan berarti akan terdapat keseimbangan, sebagaimana dikemukakan oleh Sri Redjeki Hartono, bahwa hukum harus mampu menjaga dan mengatur harkat dan martabat manusia dan kehidupan kemanusiaan dengan mengatur keseimbangan kepentingan semua pihak demi kesejahteraan nilai-nilai kemanusiaan (Sri Redjeki Hartono, 2004 : 34-35). Oleh karena itu, agar terjadi keseimbangan antara negara dengan masyarakat dalam hal pemungutan pajak perlu perangkat hukum yang mengatur agar kepentingan kedua belah pihak menjadi seimbang.

Selanjutnya teori keadilan dikembangkan oleh paham tradisional yang dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Teori keadilan atas pengaruh Aristoteles ini dibagi menjadi tiga keadilan, yaitu keadilan legal, keadilan komutatif dan keadilan distributif. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Pada prinsipnya keadilan legal menyatakan bahwa semua orang atau kelompok masyarakat harus diperlakukan secara sama oleh negara di hadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Keadilan komutatif mengatur hubungan yang adil antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lainnya. Keadilan ini menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga yang satu dengan warga yang lain tidak terdapat pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Keadilan ini menuntut agar semua orang memberikan, menghargai dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain. Keadilan distributif pada prinsipnya menyangkut pembagian / distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dalam kaitannya dengan pemungutan pajak maka keadilan legallah yang tepat untuk digunakan mengetahui dan menerapkan apakah suatu peraturan hukum telah memenuhi unsur keadilan atau belum.

Teori – teori pembagian pajak tersebut adalah teori-teori kepentingan, teori prestasi negara , teori gaya pikul.

  1. Teori Kepentingan

Teori ini hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas Pemerintah, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Oleh karena itu, sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka itu.

Jadi, di dalam membagi beban pajak diantara penduduk hendaknya disesuaikan dengan kepentingan masing-masing terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh negara. Makin besar kepentingannya terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh negara, makin besar kepentingannya terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh negara berarti makin besar pula pajaknya.

Menurut teori ini agar pembagian beban pajak dirasa adil, maka tarip pajaknya menggunakan tarip proporsional/sebanding, tarip yang persentasenya tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Terhadap teori ini banyak yang menyampaikan sanggahan karena ternyata mengandung kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah :

1) Hanya dapat diterapkan pada pajak tidak langsung, sedang untuk pajak langsung tidak dapat diterapkan.

Pajak langsung adalah suatu jenis pajak yang pemungutannya langsung kepada wajib pajak, tidak memerlukan bantuan pihak ketiga, misalnya : Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan dan lain-lain. Pajak tidak langsung adalah suatu jenis pajak yang pemungutannya lewat pihak ketiga, misal : pajak tontonan, pajak penjualan, pajak pertambahan nilai dan lain-lain.

 

2) Hanya dapat dicapai keadilan dari segi hukum perdata saja, karena hakekat pembayaran pajak disamakan dengan pembayaran retribusi, padahal antara pajak dan retribusi berlainan.

3)  Apabila dihadapkan pada pertanyaan, mana yang lebih besar kepentingannya terhadap kegiatan negara antara penduduk yang kaya dan miskin, teori ini menjadi tidak tepat jika diterapkan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang.

Penduduk yang kaya tidak banyak begitu bergantung pada kegiatan negara, sedangkan penduduk miskin kepentingannya terhadap kegiatan negara lebih banyak/besar (misalnya kepentingan rakyat miskin terhadap kegiatan negara atau pemerintah di bidang kesehatan, seperti adanya Puskesmas, Rumah Sakit Umum, dan lain-lain) sehingga teori ini dapat dikatakan salah karena pangkal letaknya adalah kepentingan. Penduduk miskin justru lebih banyak kepentingannya terhadap kegiatan negara, apakah penduduk miskin harus membayar pajak lebih besar ? Oleh karena terdapatnya kelemahan-kelemahan tersebut, maka berkuranglah sarjana yang mempertahankan teori yang tidak sesuai dengan kenyataan ini.

  1. Teori Prestasi Negara

Teori ini berpangkal pada prestasi yang oleh penduduk diharapkan negara akan melakukannya. Teori ini juga disebut dengan teori prestasi modern yang berpangkal pada kemampuan ekonomi subjektif. Untuk mengetahui kemampuan ekonomi subjektif, negara membuat suatu daftar yang berisi daftar prestasi negara. Makin banyak yang diisi atau diminta berarti bersedia memikul biaya, sehingga bersedia dipajaki lebih banyak dan makin sedikit yang diisi berarti makin sedikit kesediaannya untuk dipajaki. Hipotesa teori prestasi negara ini diletakkan pada kejujuran seseorang penduduk atau wajib pajak. Hal ini juga merupakan suatu hipotesa kemampuan ekonomi yang sulit dibuktikan kebenarannya.

  1. Teori Daya Pikul

Teori ini menyatakan bahwa agar pemungutan pajak dirasa adil maka dalam membagi beban pajak hendaknya disesuaikan dengan daya pikul Wajib Pajak yang bersangkutan.

De Langen mengatakan bahwa daya pikul adalah kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya.

Cohan Stuart menyamakan gaya/daya pikul sama dengan sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebaninya dari luar. Hal ini berarti bahwa daya pikul adalah sama dengan kekuatan memikul beban yang melewati jembatan itu tanpa jembatan itu amblas, yang berarti bahwa kekuatan pikul jembatan dikurangi dengan bobot sendiri. Misalnya, kekuatan pikul jembatan 25 ton sedangkan bobot jembatan itu sendiri adalah 15 ton, maka daya pikul jembatan itu adalah 25 ton dikurangi 15 ton sama dengan 10 ton. Kendaraan yang berbobot lebih dari 10 ton tidak boleh melewati jembatan itu. Kaitannya dengan beban pajak dapat disimpulkan bahwa kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara (dalam bentuk pajak ) baru ada jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia atau tercukupi. De Langen berkesimpulan bahwa kekuatan untuk membayar pajak kepada negara baru ada setelah kekuatan orang yang bersangkutan dikurangi dengan minimum kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya minimum kehidupan (Santoso Brotodihardjo, 1982 : 69) adalah :

a. keadaan keuangan suatu negara : apabila keadaan baik, maka negara dapat lebih leluasa memperhatikan lapisan-lapisan bawah dari pada penduduk dan memberikan pembebasan pajak bagi suatu minimum kehidupan yang direncanakan lebih luas.

b. pembagian pendapatan : apabila terbanyak di antara rakyat hanya memiliki pendapatan yang sama dengan minimum kehidupan, atau hanya melebihi sedikit maka adalah sukar untuk tidak membebaninya dengan pajak yang tersebut terakhir ini.

c. gaya beli uang : apabila gaya beli ini di berbagai daerah dari suatu negara berbeda-beda maka perlu kiranya ditentukan suatu minimum yang berbeda-beda.

  1. Fiscal Policy

Hasil pemungutan pajak tidak hanya digunakan untuk memasukkan ke dalam kas negara (fungsi budgeter) saja, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik atau tujuan yang ada di luar bidang keuangan (fungsi mengatur = regulerend). Fungsi pajak yang budgeter dan fungsi yang mengatur sejak diadakan tax reform dikombinasikan yang lazimnya ditentukan dalam kebijaksanaan fiskal (fiscal policy). Kebijaksanaan fiskal adalah segala sesuatu yang bertalian dengan usaha Pemerintah untuk menstabilisasikan atau mendorong tingkat aktivitas ekonomi. Kebijaksanaan fiskal tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk pemberian insentif / perangsang misalnya untuk menarik investor dari luar negeri, untuk megembangkan pasar modal,dan lain-lain (Rochmat Soemitro, 2004 : 46).

Soemitro Djojohadikusumo dalam karangannya yang berjudul “Fiscal Policy, Foreign Exchange Control and Economic Development” menjelaskan (terjemahan bebas) bahwa Fiscal Policy sebagai alat pembangunan harus mempunyai satu tujuan bersamaan, yaitu secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving ke arah sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat pembangunan.

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut maka fiscal policy sebagai satu alat pembangunan harus didasarkan atas kombinasi tarip-tarip pajak yang tinggi, baik pajak–pajak langsung maupun pajak–pajak tidak langsung dengan satu fleksibilitas yang berada dalam sistem pengenaan pajak-pajak berupa pembebasan pajak– pajak dan pemberian insentif atau dorongan-dorongan untuk merangsang private investment sebagaimana diharapkan.

 

  1. ASAS-ASAS PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK
  1. Asas-asas Pemungutan Pajak

Dalam pelaksanaan pemungutan pajak dikenal adanya asas-asas pelaksanaan pemungutan pajak, tata cara pemungutan pajak dan sistem pemungutan pajak. Asas-asas pelaksanaan pemungutan pajak dapat dijumpai adanya beberapa asas, yaitu : asas yuridis, asas ekonomis, asas umum dan merata, asas domisili, asas sumber, asas kebangsaan, asas waktu, asas rentabilitas dan asas resiprositas.

a.      Asas Yuridis

Asas ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak harus berdasar undang-undang, artinya pemungutan pajak tersebut harus terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat (melalui wakil-wakil rakyat).

Di Indonesia hal tersebut tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”, yang setelah dilakukan amandemen ketiga Undang Undang Dasar 1945 selanjutnya dicantumkan dalam Pasal 23 A, yang berbunyi : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Jadi ketentuan-ketentuan tersebut (khususnya yang terbaru yaitu Pasal 23 A) dapat dikatakan merupakan sumber hukum formal dari pajak. Dari ketentuan Pasal 23 A amandemen Undang Undang Dasar 1945 tersebut lalu muncul pertanyaan, mengapa pemungutan pajak harus berdasarkan udang-undang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak cukup hanya menyatakan, karena Pasal 23 A menentukan atau mengatur demikian.

Ketentuan atau Pasal 23 A amandemen Undang Undang Dasar 1945 memang merupakan sumber hukum formal dari pajak, tetapi sebenarnya juga tersirat falsafah pajak yang lebih mendalam. Jadi, untuk menjawab pertanyaan di atas maka dapat dikemukakan landasan filosofis dari ketentuan Pasal 23 A tersebut. Pajak merupakan peralihan kekayaan atau harta dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan yang tidak ada imbalannya tersebut dalam kejadian sehari-hari hanya terjadi misalnya karena perampasan, penggarongan, pemberian hadiah secara sukarela dan lain-lain. Oleh karena itu, agar pemungutan pajak tidak dikatakan sebagai perampokan, penggarongan atau pemberian hadiah secara sukarela maka disyaratkan bahwa pajak sebelum dikenakan kepada rakyat harus mendapat persetujuan dari rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) anggota-anggotanya dipilih secara demokratis oleh rakyat, dan sekaligus mewakili rakyat, sehingga apabila DPR menyetujui rancangan undang-undang tentang pajak maka berarti bahwa undang-undang tentang pajak tersebut juga telah disetujui oleh rakyat. Dasar / landasan filosofis yang terkandung dalam Pasal 23 A amandemen UUD 1945 tersebut ternyata sama dengan falsafah perpajakan yang dianut di negara-negara maju seperti di Inggris, yang falsafahnya berbunyi : “No taxation without representation” dan falsafah di Amerika Serikat berbunyi : “Taxation without representation is robbery”.

Undang-undang tentang perpajakan menurut Adam Smith harus memenuhi syarat-syarat yaitu syarat yuridis, syarat ekonomis, syarat finansial, dan syarat sosiologis. Syarat yuridis mengharuskan bahwa undang-undang pajak yang menjadi dasar pelaksanaan perpajakan harus memberikan kepastian hukum, memberikan keadilan, dan juga harus memberikan manfaat.

Syarat ekonomis mensyaratkan bahwa pemerintah dalam memungut pajak harus benar-benar memperhatikan dampak ekonomi pada individu, jangan sampai pajak merupakan beban bagi individu atau warga masyarakat. Syarat finansial mensyaratkan bahwa dalam pemungutan pajak harus memberikan hasil atau cukup memberikan hasil pada kas negara, jangan sampai biaya yang digunakan untuk memungut pajak melebihi hasil dari pajak. Syarat sosiologis mensyaratkan bahwa pajak harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memperhatikan keadaan dan situasi masyarakat pada waktu itu. Karena pajak adalah untuk keperluan masyarakat dan dipungut dari anggota masyarakat, maka pungutan pajak harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat (Rochmat Soemitro, 2004 : 39).

b.      Asas Ekonomis

Dalam asas ini disyaratkan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Pajak harus dapat dibayar dari penghasilan rakyat dan tidak boleh menghalangi usahanya dalam menuju ke kebahagiaan rakyat;

2) Pajak tidak boleh menghalang-halangi lancarnya usaha perdagangan dan industri atau produksi;

3) Pajak tidak boleh bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.

Kepentingan umum jangan sampai dirugikan, misalnya bantuan terhadap bencana alam menurut saluran-saluran tertentu yang dilakukan oleh orang-orang atau badan dapat dianggap sebagai pengeluaran yang dapat dipergunakan untuk mengurangi jumlah penghasilannya dalam rangka menghitung penghasilan bersih.

c.       Asas Umum dan Merata

Umum artinya adalah bahwa dalam asas ini menyatakan bahwa pemungutan pajak harus dikenakan kepada semua orang (yang memenuhi syarat) tanpa pandang bulu dan dan merata artinya tekanan beban pajaknya sama (sesuai dengan kemampuan masing-masing Wajib Pajak )

d.      Asas Domisili

Asas ini memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak kepada Wajib Pajak (tax payer) yang bertempat tinggal di wilayahnya. Dengan kata lain pemungutan pajak didasarkan atas tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak. Misalnya, apabila seorang Warga Negara Indonesia (WNI) memperoleh penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia maka pemerintah Indonesia berwenang memungut pajak kepada WNI yang bersangkutan baik atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia maupun dari luar tersebut.

e.       Asas Sumber

Asas ini memberikan kewenangan kepada negara asal sumber pendapatan yang diperoleh oleh Wajib Pajak. Dengan kata lain pemungutan pajak didasarkan atas letak sumber pendapatan yang diperoleh tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Misalnya, jika seorang Warga Negara Asing (WNA) memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka berdasar atas asas ini pemerintah Indonesia berwenang memungut pajak kepada WNA tersebut.

 

f.       Asas Kebangsaan

Asas kebangsaan ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan dari suatu negara sehingga pengenaan/ pemungutan pajak didasarkan atas kebangsaan Wajib Pajak . Asas ini mengandung dua arti yaitu :

1) Dalam arti aktif ; artinya negara berwenang memungut pajak kepada semua warga negaranya dimana pun berada.

2) Dalam arti pasif ; artinya negara berwenang untuk memungut pajak terhadap warga negara asing yang tinggal di wilayah negaranya.

g.      Asas Waktu

Asas ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan pada saat Wajib Pajak dalam keadaan mampu membayar pajak. Misalnya, memungut pajak pada saat rakyat menikmati panen atau saat wajib pajak yang berstatus pegawai mendapat gaji, jangan memungut pajak saat rakyat dalam keadaan paceklik.

h.      Asas Rentabilitas

Asas ini mensyaratkan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari pajaknya, atau dengan kata lain pemungutan pajak harus memberikan hasil. Salah satu fungsi pajak adalah fungsi budgetair atau fungsi keuangan, yaitu untuk mendapatkan keuangan yang sebesar-besarnya bagi negara, sehingga jika pemungutan pajak akan merugikan negara atau tidak menghasilkan, maka pemungutan pajak tidak perlu dilakukan.

i.        Asas Resiprositas

Asas ini menyatakan bahwa negara memberikan kebebasan subyektif dengan syarat timbal balik. Misalnya, duta besar suatu negara yang berada di Indonesia dapat dibebaskan membayar pajak tertentu dengan syarat bahwa negara dari duta besar tersebut juga membebaskan duta besar Indonesia di negara sahabat tersebut.

j.        The Four Maxims

Di samping asas-asas tersebut, agar pemungutan pajak itu dirasa adil, maka peraturan pajaknya juga harus adil. Agar peraturan pajak adil, menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations peraturan pajak harus memenuhi 4 syarat, yaitu :

ü  Equity dan Equality

Equity adalah kepatutan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat (Rochmat Soemitro, 1986 : 15-16), sedangkan Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa dalam keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.

ü  Certainty : artinya ada kepastian hukum, harus jelas subjek, objek, dan tarip pajaknya.

ü  Convenience of Payment : artinya pajak harus dipungut pada saat yang tepat, saat yang paling baik bagi wajib pajak.

ü  Efisiensy / Economics of Collection : artinya pemungutan pajak harus memberikan hasil, dilakukan dengan sehemat-hematnya dan jangan sampai biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.

  1. Tata Cara Pemungutan Pajak

Cara pemungutan pajak yang dapat dilakukan ada beberapa alternatif penerapannya yang dikenal dengan stelsel pajak, yaitu :

1) Stelsel Nyata (riel stelsel)

Dalam stelsel ini pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sungguh-sungguh diperoleh (penghasilan yang nyata ) dalam setiap tahun pajak. Besarnya penghasilan yang nyata baru dapat diketahui pada akhir tahun pajak. Stelsel ini memiliki kelebihan, yaitu : (a) pengenaan pajak lebih realistis, karena pengenaannya didasarkan atas penghasilan yang benar-benar diperoleh; (b) pengenaan pajak lebih adil sesuai dengan asas /teori daya pikul. Namun di samping kelebihan tersebut, stelsel ini juga mengandung kelemahan, yaitu : (a) pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode/setelah penghasilan riil diketahui; dan (b) memerlukan tenaga untuk meneliti secara baik.

2) Stelsel Anggapan (fictieve stelsel)

Dalam stelsel ini pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-undang. Misalnya : penghasilan dalam satu th pajak dianggap sama dengan penghasilan sesungguhnya yang didapat pada tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Stelsel ini mengandung kelebihan-kelebihan, yaitu : bahwa pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun, sedang kekurangannya adalah bahwa pajak yang dibayar tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.

3) Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.

Pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan (pendapatan atau penghasilan tahun sebelumnya), kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan maka WP harus menambah, dan sebaliknya jika jumlah pajaknya ternyata lebih kecil maka kelebihanatas pembayaran yang telah dilakukan dapat diminta kembali.

  1. Sistem Pemungutan Pajak :

1) Official Assessment System

Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-ciri :

a. Wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiscus;

b. Wajib Pajak bersifat pasif, menunggu ketetapan fiscus mengenai besarnya utang pajak.

c. Hutang pajak timbul setelah dikeluarkan SKP oleh fiscus.

Sistem ini mengandung kelemahan-kelemahan, yaitu :

a. Pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung pada aparat perpajakan, sehingga menimbulkan kecenderungan masyarakat Wajib Pajak kurang bertanggungjawab dalam memikul beban negara.

b. Sistem pemungutan pajak sangat berbelit (Rimsky K. Judisseno, 1999 : 5).

2) Self Assessment System

Self Assessment System adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada WP untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam sistem ini Wajib Pajak diberikan kepercayaan sepenuhnya guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya.

Konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa masyarakat harus benar-benar mengetahui tata cara menghitung pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan pajaknya. Cirir-ciri :

a. Wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada WP sendiri

b. WP aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang

c. Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3) With Holding System

With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan Fiscus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-ciri dari with holding system adalah wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga, selain fiscus dan Wajib Pajak (Mardiasmo, 1997 : 9).

Dapat pula dikatakan bahwa ia sebagai salah satu metode pengumpulan pajak penghasilan yang merupakan bagian dari seluruh penghasilan yang diterima oleh subjek pajak dalam satu tahun yang dihitung, dipotong, disetor dan dilaporkan oleh si pemberi penghasilan (Ating Sukma, dkk, 2005 : 32).

Penerapan sistem ini memberi dorongan kepada peningkatan kepatuhan sukarela (voluntary compliance), dimana pemberi penghasilan harus melaporkan dan mencantumkan identitas siapa penerimanya. Pajak terutang dapat dengan mudah dikumpulkan oleh si pemberi kerja atau pemberi penghasilan dengan kesederhanaan dokumentasi.

  1. TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK
  1. Pengertian Pajak

Jika kita melihat pengertian pajak maka kita jumpai sangat beragam. Sebatas untuk perbandingan maka berikut ini dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana.

1) PJA Adriani :

“Pajak ialah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya, menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

2) Soeparman Soemahamidjaja :

“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksibarang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.

3) Rochmat Soemitro :

“Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan dari sektor swasta ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan”. Dapat dipaksakan artinya adalah bahwa bila hutang pajak tidak dibayar maka hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan terhadap pembayaran pajak.

Dari definisi-definisi tersebut di atas pada intinya dapat dikatakan bahwa pajak adalah iuran dari rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang, tanpa adanya imbalan atau imbal balik yang secara langsung dapat ditunjukkan yang digunakan untuk biaya rutin dan pembangunan.

Pengertian pajak tersebut jika dibandingkan dengan retribusi dan sumbangan dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada retribusi pada umumnya hubungan antara prestasi dan kembalinya adalah langsung dapat ditunjukkan atau diperlihatkan. Retribusi didasarkan atas peraturan-peraturan yang berlaku umum dan untuk menaatinya yang bersangkutan dapat pula dipaksa. Cara membayarnya bermacam-macam, dapat berupa uang, meterai dan ada pula dengan leges. Selanjutnya untuk istilah sumbangan, mengandung pemikiran bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya melainkan hanya untuk sebagian penduduk tertentu saja (Santoso Brotodihardjo, 1982 : 7). Sepintas antara retribusi dan sumbangan adalah sama, namun sumbangan ini tidak bisa disamakan begitu saja dengan retribusi. Pada retribusi imbal balik dari pemerintah dapat ditunjuk secara langsung atau dinikmati secara langsung oleh seseorang atau orang yang membayar retribusi, sedangkan pada sumbangan yang mendapat prestasi kembali (tegen prestatie) adalah suatu golongan. Bila dibandingkan dengan pajak, meskipun keduanya terdapat sanksi yang bersifat yuridis, namun akibat hukum dari pelanggaran terhadap pajak dn sumbangan berbeda. Sifat memaksa dari pajak lebih kuat bila dibandingkan dengan sumbangan. Pada retribusi, sifat paksaannya pada umumnya bersifat ekonomis.

Sejak reformasi perpajakan digulirkan pertama kalinya tahun 1983 hingga saat ini, telah beberapa paket undang-undang di bidang perpajakan dihasilkan, dan beberapa di antaranya telah mengalami beberapa kali perubahan. Setidak-tidaknya menurut catatan penulis telah dihasilkan 22 Undang-Undang di bidang perpajakan sejak tahun 1983 sampai dengan tahun 2002, baik yang sifatnya sebagai pengaturan baru di bidang perpajakan maupun perubahan terhadap undang-undang yang telah dihasilkan sebelumnya. Namun demikian dari 22 undang-undang di bidang perpajakan, hanya ada 2 (dua) undang-undang yang mendefinisikan pajak, yaitu Undang-Undang nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Agus Hendra Simatupang, 2005 : 20). Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah : “semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, definisi pajak adalah sama (tidak ada perubahan) dengan yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997.

  1. Unsur-Unsur Pajak

Dengan mengacu pada definisi-definisi di atas, khususnya definisi dari Rahmat Soemitro maka dapat diketahui unsur-unsur dari pajak, yaitu :

1) Ada undang-undang yang mendasari;

Pemungutan pajak harus berdasar pada Undang-Undang, tidak bisa dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tata urutannya .

2) Ada penguasa pemungut pajak;

Dalam pemungutan pajak harus ada pemerintah yang akan memungut pajak, pemungutan pajak tidak dilakukan oleh partikelir (swasta).

3) Ada subjek pajak;

Artinya harus ada subjek yang dapat berupa orang pribadi atau badan yang dapat dibebani kewajiban untuk membayar pajak.

4) Ada objek pajak;

Artinya harus ada sasaran apa yang akan dibebani pajak, yang dapat berupa keadaa, perbuatan atau peristiwa.

5) Ada masyarakat / kepentingan umum;

Hasil dari pemungutan pajak harus kembali pada masyarakat atau untuk kepentingan masyarakat.

6) Ada Surat Ketetapan Pajak;

Surat Ketetapan pajak ini tidak bersifat mutlak tetapi fakultatif, artinya untuk jenis pajak tertentu kadang tidak memerlukan Surat Ketetapan pajak.

  1. Ciri-Ciri Pajak

Dengan melihat unsur-unsur pajak tersebut maka pajak juga dapat diketahui adanya ciri-ciri yang biasanya ada, yaitu :

1) Dipungut berdasarkan undang-undang atau peraturan daerah (PERDA) artinya dapat dipaksakan.

2) Dapat berupa Pajak Langsung (pajak yang langsung dipungut oleh pemerintah melalui aparaturnya) dan Pajak Tidak Langsung (pajak yang pemungutannya melalui pihak ketiga).

3) Dapat dipungut sekaligus (dipungut setiap ada perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan utang pajak) atau berulang-ulang (artinya pajak dipungut secara periodik atau terus menerus).

4) Tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk (artinya pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan dia mendapatkan imbal balik yang secara langsung diterima atau dapat ditunjukkan).

5) Sebagai alat pendorong (artinya pajak dapat digunakan untuk mendorong adanya investasi, jika ada fasilitas insentif di bidang perpajakan) atau penghambat (artinya pajak dapat digunakan untuk menghambat pemborosan atau dapat berlaku hemat).

6) Penggunaan pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.

  1. Fungsi Pajak

a)      Fungsi Keuangan (Budgetair) :

Struktur penerimaan negara telah bergeser dalam beberapa dasawarsa terakhir, yaitu dari penerimaan minyak dan gas ke penerimaan pajak. Peningkatan peran dan fungsi penerimaan Negara dari sektor pajak memperlihatkan kenaikan yang cukup berarti pada tiap tahun anggaran.

Peningkatan penerimaan pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak juga besar pengaruhnya dalam ikut meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Intensifikasi dan ekstensifikasi dalam pemungutan pajak akan bersifat kontraktif jika tanpa adanya keberhasilan pembangunan secara keseluruhan (Nadir Sitorus, 2002 : 2).

Uang masyarakat yang dibayarkan kepada pemerintah pusat dalam bentuk pajak pusat dimasukkan ke dalam kas negara selanjutnya diolah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan untuk pajak daerah dimasukkan ke dalam kas daerah dan selanjutnya diolah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk biaya rutin dan pembangunan.

Peran penerimaan dari sektor pajak ke dalam APBN atau APBD tersebut untuk beberapa tahun ke depan akan makin berat, hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang masih dalam proses pemulihan (recovery) dan stabilitas sosial politik yang masih akan mempengaruhi terhadap perkembangan usaha dan investasi, kesempatan kerja, produksi serta distribusi barang dan jasa yang mempengaruhi penghasilan dan daya beli masyarakat secara keseluruhan.

b)      Fungsi Mengatur (Regulerend) :

Pajak sebagai alat untuk mengatur kesejahteraan rakyat di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Fungsi mengatur dari pajak dapat diberikan contoh sebagai berikut :

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi minuman keras.

b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah dengan maksud untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

c. Tarif pajak untuk ekspor adalah 0 % yang dimaksudkan untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.

  1. Pendekatan Pajak

Untuk memahami pajak secara lengkap maka pajak dapat didekati dari beberapa sudut pandang, yaitu :

a)      Segi Hukum

Pajak (utang pajak) adalah perikatan yang timbul karena Undang-undang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat ( tatbestand ) yang ditentukan dalam Undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

b)     Segi Ekonomi

Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah, berdasarkan peraturan – peraturan yang dapat dipaksakan dan mengurangi income masyarakat tanpa memperoleh imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran masyarakat (negara).

Jika dilihat secara mikroekonomi, pemungutan pajak akan mengurangi income individu dan tanpa imbalan, sehingga pajak dianggap sebagai beban yang memberatkan, mengurangi pendapatan seseorang, mengurangi daya beli seseorang, dan akhirnya mengurangi kesejahteraan individu. Pandangan secara mikroekonomi ini mengakibatkan pengertian yang salah terhadap pajak (Rochmat Soemitro dan Dewi kania Sugiharti, 2004 : 49-50).

Pendekatan secara makroekonomi, pajak didekati dengan melibatkan masyarakat, karena individu merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat memerlukan income untuk membiayai kelangsungan hidupnya, seperti untuk keamanan, ketertiban, gaji para pegawai, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, para individu perlu memberikan masukan atau iuran kepada masyarakat dalam bentuk pajak guna keperluan masyarakat yang bersangkutan.

c)      Segi Keuangan

Dari segi keuangan, pajak hanya ditinjau sebagai alat untuk mengumpulkan dan memasukkan uang yang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Pajak merupakan alat yang strategis bagi suatu negara untuk mendapatkan anggaran di samping sumber-sumber yang lain.

d)     Segi Sosiologi

Pendekatan dari segi sosiologi, pajak tidak hanya untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah, tetapi sangat diharapkan juga untuk membiayai pembangunan, baik pembangunan materiil maupun moril / spirituil. Pembebanan pajak kepada rakyat juga akan berdampak pada masyarakat, sehingga pembebanan pajak hanya dirasa benar jika bermanfaat bagi masyarakat.

  1. Pembagian Pajak

Pembagian atau penjenisan pajak tergatung pada dari sudut mana pajak itu dipandang atau didekati.

  1. Menurut Golongannya :

Jika dilihat dari sudut penggolongannya maka pajak dapat dibedakan ke dalam jenis pajak sebagai berikut :

a. Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dialihkan kepada pihak lain, misalnya : Pajak Penghasilan.

Ciri-ciri dari pajak langsung tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Dipungut secara periodik;

(2) Mempunyai kohir / Surat Ketetapan Pajak;

(3) Merupakan pajak yang dipungut langsung kepada Wajib Pajak , sehingga ada 2 pihak yaitu Fiscus dan Wajib Pajak.

b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dialihkan kepada pihak lain, misalnya : Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ciri-ciri yang melekat pada jenis pajak tidak langsung ini adalah sebagai berikut :

(1) Dipungut tidak secara periodik;

(2) Tidak berkohir;

(3) Pemungutan melalui Pihak ketiga, sehingga ada tiga pihak yaitu Fiscus, Wajib Pungut (Wapu) dan Wajib Pajak.

  1. Menurut Kewenangan Memungut :

Jika dilihat dari sudut kewenangan memungutnya, maka pajak dapat dibedakan ke dalam :

a. Pajak Pusat adalah pajak yang kewenangan memungutnya ada pada pemerintah pusat, misalnya : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain.

b. Pajak Daerah adalah pajak yang kewenangan memungutnya ada pada pemerintah daerah (Pajak Propinsi & Pajak Kab/Kota), misalnya untuk Pajak Propinsi adalah Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan lain-lain, sedang untuk Pajak Daerah Kabupaten / Kota adalah Pajak Reklame, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, dan lain-lain.

  1. Menurut Sifatnya :

Jika dilihat dari sifatnya, pajak dapat dibedakan ke dalam jenis pajak sebagai berikut:

a. Pajak Pribadi (pajak subjektif) yaitu pajak yang pemungutannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjek pajak), misalnya Pajak Penghasilan dalam menentukan besar kecilnya utang pajak akan dilihat kondisi atau jumlah tanggungan Wajib Pajak.

b. Pajak Kebendaan (pajak objektif) yaitu pajak yang pemungutannya tanpa memperhatikan keadaan Wajib Pajak, yang dilihat hanya objek pajaknya saja, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan lain-lain.

  1. Subjek, Objek dan Tarip Pajak

1. Subjek Pajak

Pengertian subjek pajak berbeda dengan pengertian wajib pajak. Pengertian subjek pajak tidak dapat ditemukan baik dalam UUKUP tahun 1983 maupun dalam perubahan-perubahannya sampai dengan yang terakhir saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UUKUP tahun 2007). Namun dalam UUKUP tahun 2007 hanya dijelaskan tentang pengertian wajib pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Pengertian subjek pajak dapat ditemukan dalam beberapa Undang-Undang Pajak yang tergolong Hukum Pajak Materiil, seperti yang dapat dilihat di Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 ) dan Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 sebagaimana dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994). Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 dijelaskan mengenai subjek pajak yaitu :

a. Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa yang menjadi Subjek Pajak adalah : (a) 1) orang pribadi atau perseorangan; dan 2) warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak; dan (b) badan; dan (c) bentuk usaha tetap.

b. Dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Selanjutnya yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah : (a) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; (b) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; dan (c) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Subjek Pajak luar negeri adalah : (a) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; (b) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : (a) tempat kedudukan manajemen; (b) cabang perusahaan; (c) kantor perwakilan; (d) gedung kantor; (e) pabrik; (f) bengkel; (g) pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; (h) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; (i) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; (j) pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; (k) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; (l) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

c. Pasal 3 dijelaskan tentang badan dan orang yang tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yaitu : (a) badan perwakilan negara asing; (b) pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; (c) organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : (1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; (2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; dan (d) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

d. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dinyatakan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang ini.

Selanjutnya mengenai Wajib Pajak pengertiannya ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUKUP 2007, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Orang pribadi atau badan dalam hukum pajak merupakan subjek pajak, sehingga wajib pajak adalah juga merupakan subjek pajak. Oleh karena itu, subjek pajak ( orang pribadi atau badan ) yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Undang-Undang Perpajakan adalah Wajib Pajak.

Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

2. Objek Pajak

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan 2008 menyatakan, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;

3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; royalti;

h. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

i. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

j. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

k. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

l. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

m. premi asuransi;

n. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

o. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Undang-undang tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3), yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah :

 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;

2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan;

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;

j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;

k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan

2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

3. Tarip Pajak

Pengaturan tarip pajak dapat diketemukan dalam Hukum Pajak Materiil. Tarip digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besarnya utang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi ataupun badan. Dalam praktik pemungutan pajak, tarip pajak yang digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan pajak dapat berupa tarip-tarip pajak sebagai berikut :

1) Tarip proporsional/sebanding

Tarip proporsional atau sebanding adalah tarip pajak yang persentasenya tetap atau tidask berubah, artinya semakin besar jumlah yang dipakai sebagai dasar menentukan besarnya pajak yang terutang maka semakin besar pula jumlah utang pajak yang harus dibayar. Namun, kenaikan besarnya utang pajak tersebut diperoleh dengan persentase yang sama / tetap. Misalnya dalam Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) dinyatakan bahwa untuk Pajak Pertambahan Nilai ditetapkan 10 % (sepuluh per seratus).

2) Tarip tetap

Tarip tetap adalah tarip pajak yang besarnya tetap terhadap berapapun jumlah atau nilai objek yang dikenakan pajak. Misalnya tarip dalam menetapkan besarnya pajak berupa bea meterai atas diterbitkannya dokumen suatu perjanjian sebesar Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah).

3) Tarip progresif

Tarip progresif adalah tarip pajak yang persentase pengenaannya semakin meningkat biloa jumlah atau nilai objek yang dikenai pajak. Misalnya tarip dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menentukan bahwa bagi wajib pajak orang pribadi akan dikenai tarip sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak. Tarip pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:

a. Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), tarip pajaknya 5% (lima persen);

b. Di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tarip pajaknya 15 % (lima belas persen);

c. Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tarip pajaknya 25% (lima belas persen);

d. Di atas Rp 500.000.000,0 (lima ratus juta rupiah) tarip pajaknya 30% (tiga puluh persen).

Apabila dilihat dari kenaikan persentase tarifnya, dalam tarip progresif dikenal :

a. Tarip progresif progresif, yaitu kenaikan persentase tarifnya semakin besar;

b. Tarip progresif tetap, yaitu kenaikan persentase tarifnya tetap;

c. Tarip progresif degresif, yaitu kenaikan persentase tarifnya semakin kecil.

4) Tarip degresif

Tarip progresif adalah tarip pajak yang persentase pengenaannya semakin menurun sejalan dengan pertambahan penghasilan atau dengan kata lain persentase tarip yang digunakan akan semakin kecil jika jumlah atau nilai objek yang dikenai pajak semakin besar. Dalam penerapannya tarip progresif juga dapat berupa degresif progresif, degresif tetap dan degresif degresif.

  1. Pengampunan Pajak ( Tax Amnesty )

Pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi wajib pajak yang tidak patuh (tax evaders) menjadi wajib pajak yang patuh (honest taxpayers) sehingga diharapkan akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak (taxpayer’s voluntarily compliance) di masa yang akan datang. Tax amnesty berasal dari kata “amnesty” yang berarti memaafkan atau mengampunkan (forgiveness). Tax amnesty dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu : filling amnesty, record-keeping amnesty, revision amnesty, investigation amnesty dan prosecution amnesty. Tax amnesty juga dapat diberikan sekali saja (one-shot amnesty atau permanent amnesty) atau lebih dari satu (intermittent amnesty atau temporary amnesty) (John Hutagaol, 2004 : 29).

Kebijakan pemerintah memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) dapat menimbulkan pro dan kontra. Dari kelompok yang pro, kebijakan ini diharapkan dapat menghasilkan tambahan penerimaan pajak yang signifikan dan memberikan kesempatan bagi wajib pajak yang selama ini belum patuh. Sebaliknya bagi kelompok yang kontra, tax amnesty dapat menimbulkan ketidakadilan (inequity) bagi wajib pajak yang patuh (honest taxpayers) karena selama ini wajib pajak tersebut telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan (John Hutagaol, 2004 : 29).

Kebijakan pengampunan pajak dijalankan oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak. Pertimbangan yang dipakai adalah bahwa dengan dilaksanakannya sistem perpajakan yang baru hasil reformasi di bidang perpajakan tahun 1983.

Beberapa prinsip yang dipergunakan dalam pengampunan pajak tahun 2004 tersebut adalah : (Sofian Hutajulu, 2004 : 31)

a. Diberikan terhadap wajib pajak badan dan orang pribadi, yang telah terdaftar atau yang belum terdaftar;

b. Atas pajak-pajak tahun 1983 dan sebelumnya yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut dalam wujud kekayaan;

c. Wajib pajak harus aktif untuk meminta pengampunan pajak dengan melengkapi syarat administrasi agar pengampunan pajak tidak gugur dengan sendirinya;

d. Laporan kekayaan dalam rangka pengampunan pajak tidak akan dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk apapun terhadap wajib pajak.

Kebijakan pengampunan pajak tahun 1984 merupakan konsekuensi dari berubahnya sistem perpajakan yang fundamental dan disadari terdapat situasi dimana ketentuan perpajakan yang baru tidak mampu memungut pajak tahun –tahun sebelumnya (tidak berlaku surut) dan sebaliknya ketentuan perpajakan yang lama telah diganti. Di lain pihak diharapkan ketika wajib pajak memulai kewajiban perpajakannya dengan menggunakan sistem perpajakan yang baru dengan asas self assessment. Pengampunan pajak menjadi jembatan di antara dua situasi peralihan tersebut, sehingga dapat dipahami sebagai solusi dari peralihan sistem perpajakan tersebut (Sofian Hutajulu, 2004 : 31).