Hukum Tertulis dan Tidak Tertulis

Menurut bentuknya, hukum itu dibagi menjadi :

1. Hukum Tertulis adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum pidana dituliskan pada KUHPidana, hukum perdata dicantumkan pada KUHPerdata.

2. Hukum Tidak Tertulis adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu.

Hukum tertulis sendiri masih dibagi menjadi dua, yakni hukum tertulis yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Dikodifikasikan artinya hukum tersebut dibukukan dalam lembaran negara dan diundangkan atau diumumkan. Indonesia menganut hukum tertulis yang dikodifikasi. Kelebihannya adalah adanya kepastian hukum dan penyederhanaan hukum serta kesatuan hukum. Kekurangannya adalah hukum tersebut bila dikonotasikan bergeraknya lambat atau tidak dapat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju.


Menurut sifatnya, hukum itu dibagi menjadi :

1. Hukum yang mengatur, yakni hukum yang dapat diabaikan bila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.

2. Hukum yang memaksa, yakni hukum yang dalam keadaan apapun memiliki paksaan yang tegas.


Menurut sumbernya, hukum itu dibagi menjadi :

1. Hukum Undang-Undang, yakni hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

2. Hukum Kebiasaan (adat), yakni hukum yang ada di dalam peraturan-peraturan adat.

3. Hukum Jurisprudensi, yakni hukum yang terbentuk karena keputusan hakim di masa yang lampau dalam perkara yang sama.

4. Hukum Traktat, yakni hukum yang terbentuk karena adanya perjanjian antara negara yang terlibat di dalamnya.


Menurut tempat berlakunyanya, hukum itu dibagi menjadi :

1. Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.

2. HUkum Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara.

3. Hukum Asing adalah hukum yang berlaku di negara asing.



Menurut isinya, hukum itu dibagi menjadi :

1. Hukum Privat (Hukum Sipil), adalah hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan dan orang yang lain. Dapat dikatakan hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan warganegara. Contoh : Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Tetap dalam arti sempit hukum sipil disebut juga hukum perdata.

2. Hukum Negara (Hukum Publik) dibedakan menjadi hukum pidana, tata negara dan administrasi negara.

3. Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan negara

4. Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan alat perlengkapan negara.

5. Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antar alat perlengkapan negara, hubungan pemerintah pusat dengan daerah.


Menurut cara mempertahankannya, hukum itu dibagi menjadi :

1. Hukum Materiil, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Contoh Hukum Pidana, Hukum Perdata. Yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Materiil dan Hukum Perdata Materiil.

2. Hukum Formil, yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. Contoh Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.


a) Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).

Dalam bermasyarakat, walaupun telah ada norma untuk menjaga keseimbangan, namun norma sebagai pedoman perilaku kerap dilanggar atau tidak diikuti. Karena itu dibuatlah norma hukum sebagai peraturan/kesepakatan tertulis yang memiliki sangsi dan alat penegaknya.



1. Perbedaan antara norma hukum dan norma sosial

a. Norma hukum tertulis :

Aturannya pasti (tertulis)

Mengikat semua orang

Memiliki alat penegak aturan

Dibuat oleh penguasa

Sangsinya berat


b. Norma hukum tidak tertulis :


Kadang aturannya tidak pasti dan tidak tertulis

Ada/ tidaknya alat penegak tidak pasti (kadang ada, kadang tidak ada)

Dibuat oleh masyarakat

Sangsinya ringan.

Bersifat tidak terlalu memaksa

Hukuman terhitung berat, karena akan dikucilkan masyarakat 


Ada tiga fungsi penting dari hukuman yang berperan besar bagi pembentukan tingkah laku yang diharapkan:


1. Membatasi perilaku. Hukuman menghalangi terjadinya pengulangan tingkah laku yang tidak diharapkan.

2. Bersifat mendidik.

3. Memperkuat motivasi untuk menghindarkan diri dari tingkah laku yang tidak diharapkan


Tata Laksana acara pengadilan militer

1.  Asas-asas dan ciri-ciri tata kehidupan militer sebagai berikut:

a.  Asas kesatuan komando, Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana dan berkewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya administrasi.Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut di atas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan.Konsekuensinya adalah dalam Hukum Acara Pidana Militer dan Hukum Acara Tata Usaha Militer dikenal adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.

b.   Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya, Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Asas ini adalah merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando.

c.   Asas kepentingan militer, Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.

2.  Kekuasaan kehakiman di lingkugan peradilan militer dilaksanakan oleh peradilan yang terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, Pengadilan Miiter Pertempuran.

a.  Ruang lingkup bagi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.

1)  Ruang lingkup bagi Pengadilan Militer, merupakan pengadilan tingkat pertama bagi terdakwa dengan pangkat kapten ke bawah. Hakim ketua dalam persidangan paling rendah pangkat Mayor sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah Kapten, panitera paling rendah Pelda paling tinggi Kapten.

2)  Pengadilan Militer Tinggi, merupakan pengadilan tingkat banding bagi terdakwa dengan pangkat Kapten ke bawah. Hakim ketua dalam persidangan paling rendah pangkat Kolonel sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah pangkat Letnan Kolonel, panitera paling rendah pangkat Kapten paling tinggi Mayor. Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan pengadilan tingkat pertama bagi terdakwa pangkat Mayor ke atas dan selain itu berfungsi sebagai Pengadilan tingkat pertama untuk perkara/masalah Tata Usaha Militer.

3)  Pengadilan Militer Utama merupakan pengadilan tingakat banding bagi terdakwa pangkat Mayor ke atas. Hakim ketua dalam persidangan paling rendah Brigjen (bintang satu) sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah pangkat Kolonel, panitera paling rendah Mayor paling tinggi Letkol. Selain itu Pengadilan  Militer  Utama  bersidang  untuk  memeriksa  dan memutuskan  perkara  sengketa  Tata  Usaha  Angkatan  Bersenjata pada tingkat banding. Dan bagi

4)  Pengadilan Militer Pertempuran, merupakan pengadilan tingakat pertama dan terakhir. Dalam pengadilan militer pertempuran ini hanya ada kasasi dan peninjauan kembali dan kasasi di limpahkan ke MA. Hakim ketua dalam persidangan paling rendah pangat Letkol sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah Mayor.

b.  Bagan tentang kekuasaan pengadilan militer untuk kapten ke bawah

Pidana Militer


c.   Bagan tentang kekuasaan Pengadilan Militer untuk Mayor ke atas

PENGADILAN MILITER



d. Pemeriksaan yang digunakan adalah acara pemeriksaan koneksitas yakni tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh peradilan umum kecuali jika menurut Menhamkam dengan persetujuan Menkeh diperiksa dan diadili dalam peradilam militer. Jika titik berat kerugian pada kepentingan umum maka diadili dalam peradilan umum, jika titik berat kerugian pada kepentingan militer maka diadili dalam peradilan militer.


3. Perkara yang diperiksa secara in absentia :

Syarat yang harus dipenuhi, Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia, hal ini tidak diatur secara jelas, kecuali di dalam pasal 196 dan 214 KUHAP :

1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.

2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.

3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.

4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan

5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.

yang mengandung pengaturan terbatas mengenai peradilan in absentia. Peradilan ini harus memenuhi beberapa unsur, antara lain: karena terdakwa tinggal atau pergi ke luar negeri; adanya usaha pembangkangan dari terdakwa (misalnya melarikan diri); atau terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara sah (pasal 38 UU RI No 31 Tahun 1999). Pasal 38 UU No 31 Tahun 1999 berbunyi:

1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.

3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.

Pengadilan in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa kehadiran terdakwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia, hal ini tidak diatur secara jelas, kecuali di dalam Pasal 196 KUHAP :

1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.

2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.

b. Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan (Pasal 154 dan 155 KUHP) yang intinya terdakwa harus hadir dalam persidangan jika tidak hadir tanpa alasan terdakwa harus didatangkan dengan paksa karena tujuan hukum acara pidana adalah untuk mendapatkan kebenaran yang sebesar-besarnya. Ada perkara yang tersangkanya tidak hadir dalam artian tidak face to face dengan hakim contohnya pelanggaran lalu lintas. Semua perkara idealnya seperti yang ada di atas. terdakwanya  melarikan diri dan tidak di ketemukan selama 6 bulan berturut-turut, dan sudah di upayakan pemanggilan tiga kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Dan jika terdakwanya tidak sulit untuk di periksa maka tidak di perlukan pemeriksaan secara in absensia, dan melaksanakan pemeriksaan secara langsung dan lisan.

4. Putusan pengadilan militer II-10 Semarang dengan nomor putusan PUT/54-K/PM.II-10/AD/VIII/2009:

a. Tindak pidana yang dapat diperiksa dan diadili secara in absentia adalah Peradilan in absentia dalam hukum pidana ekonomi (arti sempit) diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, tindak pidana desersi, tindak pidana korupsi.

b. Perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan sesudah  meneliti  berkas  perkara  Oditur  membuat  dan menyampaikan pendapat hukum kepada Perwira Penyerah Perkara yang dapat berupa permintaan agar perkara diserahkan kepada   Pengadilan  atau  diselesaikan  menurut  Hukum  Disiplin Prajurit,  atau  ditutup  demi  kepentingan  hukum,  kepentingan umum, atau kepentingan militer.

c. Menurut sepengetahua saya pemeriksaan  tanpa  hadirnya terdakwa  dalam  pengertian  in  absensi  adalah  pemeriksaan yang dilaksanakan supaya perkara tersebut dapat diselesaikan dengan  cepat  demi  tetap  tegaknya  disiplin  Prajurit  dalam rangka  menjaga  keutuhan  pasukan,  termasuk  dalam  hal  ini pelimpahan  perkara  yang  Terdakwanya  tidak  pernah  diperiksa karena sejak awal melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam  jangka  waktu  6  (enam)  bulan  berturut-turut,  untuk keabsahannya  harus  dikuatkan  dengan  surat  keterangan  dari Komandan  atau  Kepala  Kesatuannya.  Penghitungan  tenggang waktu 6 (enam) bulan berturut-turut terhitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke Pengadilan.

d. Yang berwenang adalah perwira penyerah perkara. Kewenangan  penutupan  perkara  demi  kepentingan  umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a.  Hal ini diatur dalam pasal 125 ayat (1) huruf h.

e. Alat buktinya adalah surat yakni berupa daftar absensi atas nama Prada Ali Mutando.

f. Menjalani masa pidana penjara di lembaga permasyarakatan umum karena di pecat dari dinas keprajuritan.


Studi Kasus Hukum Pidana

 Contoh kasusu Hukum Pidana

KASUS

LAGI, SUAMI ANIAYA ISTRI HINGGA BABAK BELUR

Jumat, 21 Mei 2010 .22:12

BOGOR: Mendapat perlakuan kasar dari suaminya, seorang istri terpaksa melapor ke polisi Kamis (20/5/2010) sore. Korban  SA 28, adalah warga Perumahan Griya Kencana, Tanah Sareal, Kota Bogor.

Dalam laporannya, korban menuturkan WA, yang tidak lain merupakan suaminya sendiri, sering menganiaya hanya karena persoalan ekonomi. Cekcok mulut awalnya, lalu berujung penganiayaan oleh suaminya hingga dirinya babak belur mengalami luka di bagian wajah dan tangannya.

Berdasarkan laporan SA kepada polisi, aksi penganiayaan tersebut terjadi ketika minggu (16/05) sekitar pukul 11.15 Wib.  Menurutnya, cekcok mulut yang berujung pemukulan tersebut merupakan buntut dari cekcok mulut yang terjadi sejak sehari sebelumnya.

Bahkan Sabtu (15/05) subuh, SA dan WA kembali terlibat percekcokan karena masalah uang. Saat itu, SA mengaku kalau dirinya sempat ditampar oleh sang suami. Diduga, karena keduanya tidak bisa mengendalikan emosi, percekcokan tersebut kembali terjadi pada hari Minggu (16/05) siang.

Kepada polisi, SA mengaku kalau aksi penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya, memang sering terjadi. Menurutnya, karena persoalan sepele, ia dan suaminya memang sering terlibat cekcok mulut yang berujung pada penganiayaan. Bahkan, sebelumnya, Kamis (06/05) SA juga mengaku sempat menjadi korban amukan sang suami. Saat itu, cekcok mulut terjadi hanya karena SA telat menyiapkan makanan untuk sang suami.

Kanit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak), Ipda Ika Shanti membenarkan adanya laporan tersebut. Menurutnya, hingga kini pihaknya masih terus melakukan penyelidikan kasus penganiayaan yang dialami oleh SA.

“Laporan sudah kami terima. Saat ini kami masih memintai keterangan dari pelapor dan terlapor serta beberapa saksi lainnya,” ujar Ika.

Menurutnya, jika dalam pemeriksaan ternyata WA terbukti telah melakukan penganiayaan terhadap istrinya, maka WA terancam hukuman penjara hingga 15 tahun penjara karena telah melanggar pasal 44 undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). (dio).

 


PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Kejahatan Terhadap Tubuh

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiyaan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai berikut: “perlakuan yang sewenang-wenang......”

Dari pengertian diatas  maka kasus terebut dapat disebut sebagai kejahatan terhadap tubuh karena dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. “korban menuturkan WA, yang tidak lain merupakan suaminya sendiri, sering menganiaya hanya karena persoalan ekonomi. Cekcok mulut awalnya, lalu berujung penganiayaan oleh suaminya hingga dirinya babak belur mengalami luka di bagian wajah dan tangannya”

 

B. Bentuk Penganiayaan Dan Sanksinya

Dari  penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya hingga babak belur sampai mengalami luka di bagian wajah dan tangannnya. Maka tersangka (si suami) terjerat pasal 351 yaitu yang berbunyi:

Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut:

1.      Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

2.      Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.

3.      Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

4.      Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan

5.      Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Dan karena yang dianiyaya adalah istrinya maka tersangka juga terjerat pasal 356 yang berbunyi:

“ Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:

ke-1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya.

ke-2   Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah

ke-3   Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum

Dapat disimpulkan pelaku tersebut terkena pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan hukuman lima tahun dan ditambah dengan sepertiga yang ditentukan dalam pasal 356 tentang penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas yaitu istrinya sendiri. Namun dalam pemeriksaan dan putusannya pelaku terancam hukuman penjara hingga 15 tahun penjara karena telah melanggar pasal 44 undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). (dio).