Tinjauan Hukum Terhadap Asuransi Syariah

Tinjauan hukum asuransi syari’ah bepedoman pada Al-Qur’an dan Hadits, namun secara tersurat tidak diketemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan akan transaksi asuransi, berbeda dengan transkasi jual beli yang didalam Al-Qur’an dinyatakan dengan jelas. Untuk itu dalam menggali hukum tentang asuransi maka dapat dipelajari secara ekplisit yang mempunyai makna secara kontekstual yang itu bisa menjadikan sebagai dasar asuransi. Secara prinsip akad yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad tabarru’ dan ta’wun, didalam Al-Qur’an kata ta’wanu secara umum terulang sebanyak tiga kali namun dari ketiga ayat tersebut yang dianggap paling cocok sebagai bentuk dasar hukum dari asuransi takaful yaitu surat Al-Ma’idah ayat 2. Akad tabarru’ digunakan untuk tujuan saling menolong tanpa mengharapkan balasan kecuali dari Allah SWT jadi dengan demikian pihak yang terlibat tidak dapat mengambil keuntungan dari jenis ini.[1]  Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) menetapkan sebagai bentuk akad yang digunakan dalam asuransi takaful, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional akad yang dilaksnakan dalam perusahaan asuransi takaful adalah akad tijarah dan/ atau akad tabarru’. Akad tijarah adalah mudharabah dan akad tabarru’ adalah hibah, hal ini berdasarkan fatwa DSN no. 21. sedangkan dalam fatwa DSN no. 53 akad tabarru’  merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
Berkenaan dengan usaha asuransi syari’ah maka terlepas dari usaha asuransi yang lainnya maka asuransi syari’ah sendiri masih menghadapi polemic masalah tentang kepastian hukum untuk itu dikalangan ada beberapa perdebatan yang masih menjadikan masalah asuransi sebagai kegiatan yang melanggar aturan syari’ah, namun disisi lain ada pula yang menganggap asuransi yang jika dilakukan atau didasarkan atas nilai-nilai serta aturan dalam islam maka asuransi itu boleh. Untuk mengetahui apa alasan mereka yang menyatakan bahwa asuransi itu merupakan pratik yang betentangan dengan syari’at islam, dengan pendapat mereka yang menyatakan bahwa asuransi syari’ah tidak bertentangan dengan syari’ah islam.
Dalam asuransi syariah ada yang menyatakan bahwa akad yang di gunakan dalam transaksi syariah adalah akad yang ghairu musamma (akad yang belum ada penamaannya) dan termasuk akad yang baru dalam literature fiqh[2].  Pada dasarnya praktek asuransi syariah adalah bentuk kegiatan yang didalamnya menerapkan azas saling tolong menolong.
“sebagai makhluk yang lemah, manusia harus senantiasa sadar bahwa keberadaannya tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau sesamanya, solusinya adalah firman Allah dalam Al-Qur’an al-maidah ayat 2 : “…tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”[3]

Perbedaan pendapat mereka kami sajikan dalam table berikut ini :
No
Pendapat yang setuju
Pendapat yang tidak setuju
1
Tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadits yang melarang asuransi
Asuransi sama dengan judi
2
Adanya kerelaan antara dua belah pihak
Asuransi mengandung unsure-unsur yang tidak pasti
3
Saling menguntungkan kedua belah pihak
Asuransi mengandung unsure riba
4
Asuransi termasuk akad mudharabah artinya akad kerja sama bagi hasil.[4]
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

Itulah dari beberapa perbedaan pendapat yang terjadi diantara kalangan para tokoh ahli ilmu perbankan serta ahli ilmu fiqh.
Dengan kembali berpaku pada asas kaidah fiqiyah “segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya” maka dalam menyikapi asuransi syari’ah lebih dahulu kita mengutamakan tujuan atau niat kita dalam ikut sebagai peserta asuransi.



[1] Sunarto zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah,(Jakarta:Zikrul Hakim,2007),13.
[2] Ali, hasan MA,Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam ,(Jakarta:Prenada media,2004),139.
[3] Wirdyaningsih,sh.et.al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,(Jakarta:Prenada media,2006),1484
[4] Chairuman pasaribu,Hukum Perjanjian Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,1994),88.
  1. Mekanisme Operasional Asuransi Syari’ah
Mekanisme pengelolaan dana takaful keluarga dilakukan sebagai berikut :
1.      Premi yang di terima masuk kedalam “rekening tabungan” yaitu rekening tabungan peserta asuransi dan “rekening khusus” yaitu rekening yang khusus disediakan untuk kebaikan berupa pembayaran klaim (manfaat takaful) kepada para peserta takaful atau ahli waris.[1]
2.      Premi takaful akan disatukan ke dalam “kumpulan dana peserta” yang selanjutnya diinvestasikan dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang dibenarkan syari’ah kemudian keuntungan yang diperoleh dari investasi dibagi sesuai dengan perjanjian mudharabah yang disepakati misalnya 70% untuk peserta dan 30% untuk perusahaan asuransi.[2]
Mekanisme pengelolaan dana takaful umum dilakukan sebagai berikut :
  1. Setiap premi takaful yang diterima akan dimasukkan kedalam rekening khusus yang diniatkan derma atau dana kebajikan (tabarru’) dan digunakan untuk membayar klaim kepada peserta apabila terjadi musibah.
  2. Premi takaful tersebut dimsukkan ke dalam “kumpulan dana peserta” kemudian dikembangkan melalui investasi proyek yang dibenarkan syari’ah.
  3. Setelah dikurangi beban asuransi (klaim, premi asuransi) dan masih terdapat kelebihan maka kelebihan tersebut dibagi dengan cara mudharabah.
  4. Keuntungan peserta akan dikembalikan kepada peserta yang tidak mengalami musibah, untuk perushaan sendiri akan digunakan untuk pembiayaan operasional.[3]


[1] Warkum sumitro,Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait ,(Jakarta:Raja Grafindo,1997),173.
[2] Gemala dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syari’ah di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media, 2004),140.
[3]Warkum sumitro,Asas-asas  Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait ,(Jakarta:Raja Grafindo,1997),175.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa asuransi adalah termasuk salah satu usaha yang menjadi bagian dari lembaga keuangan non bank, kegiatan asuransi adalah kegiatan yang terjadi antara pihak tertanggung dengan pihak penangung dalam memberikan ganti rugi atas suatu kerugian atau kerusakan. Asuransi syari’ah secara umum kegiatannya tidak berbeda dengan kegiatan asuransi pada umumnya atau asuransi konfensional, dalam hal ini yang membedakan antara asuransi syari’ah dengan asuransi konfensional itu terletak pada perinsip kerja yang digunakan, jika asuransi syari’ah menggunakan perinsip saling tolong menolong (ta’awun) dan kebajikan (tabarru’) sedangkan dalam konvensional tidak menggunakan prinsip ini.
Dalam hal penggunaan dana asuransi, asuransi syari’ah menggunakan dana yang telah terkumpul tersebut diinvestasikan dalam bentuk system bagi hasil (mudhorabah) sedangkan dalam konvensional dana yang telah terkumpul diinvestasikan kepada usaha yang masih menggunakan system bunga.