A.
Pengantar : Menyelami Problem
Kepemimpinan
Islam pasca waftanya Nabi saw berpindah tangan pada kelompok sahabat, salah
satu definisi populer tentang sahabat menurut ahlul hadits, adalah orang yang
berjumpa dengan Nabi saw dan meninggal dunia dalam keadaan Islam. Dari mereka umumnya
kita mengenal Rasulullah saw, dan dari
mereka pulalah kita mewarisi berbagai macam persoalan.
Sahabat sebagai tokoh yang berperan
penting terhadap sumber rujukan dalam Islam, memiliki tempat yang strategis
dalam kajian keislaman, hal ini menjadi wajar mengingat dalam posisi merekalah
sampai detik ini kita masih bisa melihat bukti-bukti sejarah, lebih dari itu
kita dapat memahami hadits yang memang berasal dari periwayatan mereka. Namun
demikian, sejalan dengan perkembangannya sahabat tidak lagi hanya ditempatkan
pada posisinya yang mulia namun sebaliknya.
Adanya berbagai persepsi tentang
keseluruhan sahabat adalah adil, nampaknya telah menjadikan sahabat sebagai
bahan kajian yang sangat dominant dalam menentukan kapabilitas dan kwalitas
hadist. Berkaitan dengan hal tersebut, maka, penulisan makalah ini adalah dalam
rangka merespon berbagai persepsi tersebut guna memperoleh gambaran utuh
tentang sahabat yang memang dari merekalah hadist diriwayatkan. Mengingat
bahwasannya al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber utama dalam kajian
ke-Islaman, maka kajian akan sahabat sebagai tokoh pemeran penyampai hadits
menjadi sangat sentral dan bahkan vital.
Dalam penulisan makalah ini,
pertanyaan mendasar yang hendak dijawab adalah siapa sebenarnya yang dimaksud
sebagai sahabat Nabi saw, bagaimana posisi mereka dalam studi hadits, dan
apakah “benar” semua sahabat itu adil. Berdasarkan sifatnya, maka penulisan
makalah ini pure merupakan kajian pustaka.
B.
Ta’rif Sahabat
Sebelum
memulai pembahasan tentang keadilan para sahabat, maka terlebih dahulu penulis
akan berusaha mengungkap makna sahabat dalam berbagai perspektif. Hal ini
sebagai langkah terarah agar didapatkan suatu kejelasan terhadap apa yang
selama ini dipahami sebagai sahabat. Yakni, orang yang beruntung bisa melihat,
melakukan dan berbuat bersama Nabi saw.
a.
Arti al-Sahabat Secara Bahasa
1.
Dalam kamus Bahasa
dalam kamus bahasa kata al-ashab,
al-shahabah, shahaba, yashubu, shahabatan, shahibun, artinya ; sahabat, teman
bergaul dan duduk –nongkrong-, penolong, dan pengikut. Al-shahib artinya kawan
bergaul, pengkritik, teman atau orang yang melakukan dan menjaga sesuatu. Kata
ini juga bisa di artikan sebagai orang yang mengikuti paham atau mazhab
tertentu. Dalam prakteknya, misalnya kita bisa mengatakan; pengikut Syafi’i,
pengikut Hanbali, dan lainnya. Dapat pula dikatakan seperti dalam frasa isthahaba
al-qaum, yang artinya, mereka saling bersahabat satu sama lain, atau isthahaba
al-bair, artinya, menyelamatkan unta. [1]
2.
Dalam al-Qur’an
Al-Qur’an di wahyukan Allah swt
kepada Muhammad saw dalam bahasa Arab. Al-Qur’an merupakan sumber referensi
yang diyakini keautetikannya sebagai rujukan, karena al-Qur’an adalah kalam
Allah swt yang mengandung berbagai unsur pengetahuan yang sangat mendalam.
Kata sahabat banyak sekali terdapat
dalam al-Qur’an, jika diamati di dalam al-Qur’an terdapat banyak kata yang
berbunyi ; tushahibni, shahibahuma, shahibahu, shahibatahu, ashab,ashabun.
Kata ni tedapat dalam al-Qur’an sebanyak 97 kali.[2]
b.
Makna Sahabat Menurut Istilah Syara’ (Pandangan Ulama)
Ibn Hajar al-Asqalani dalam
kitabnya menyatakan bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah
saw, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam.[3]
Dalam pandangannya ia menyatakan bahwa yang dapat di anggap sebagai sahabat
adalah mereka yang memenuhi criteria di bawah ini ;
- bertemu dengan Nabi saw dan menerima dakwaknya, dalam waktu lama atau sebentar
- meriwayatkan hadis dari Nabi saw ataupun tidak
- Ikut berbaiat pada Nabi saw ataupun tidak
- Sempat melihat Nabi saw, sekalipun tidak pernah duduk menemani atau tidak pernah melihat Nabi karena sebab tertentu (seperti orang buta)[4]
Berdasarkan
pada apa yang jelaskan oleh Ibn Hajar diatas, pada bagian kalimat beriman
kepada Nabi, secara tidak langsung memunculkan persepsi yang mengeluarkan orang
tertentu sebagai sahabat, yakni mereka yang bertemu Nabi saw tetapi beriman
kepada orang lain, seperti halnya golongan ahl al-kitab yang pernah
bertemu dengan Nabi saw. Begitupun bagi mereka yang bertemu Nabi saw sebelum
kenabianya –bi’tsah- kemudian percaya akan adanya Nabi sebagai utusan
apakah juga bisa dikatakan sahabat, seperti pendeta Buhaira dan para
pengikutnya.
Demikian juga dengan Ibn al-Atsir
dalam kitabnya al-Shahabah menegaskan bahwa siapapun yang pernah bertemu
dengan Nabi saw dan beriman kepadanya, baik dari golongan Jin dan manusia, maka
dia juga dianggap sebagai sahabat. [5]
Ibn Hazm juga memasukkan Jin kedalam keompok sahabat, seperti pernyataannya,
“siapa yang mengatakan bahwa Jin bukan termasuk golongan sahabat, maka ia telah
membohongi umat. Sesungguhnya Allah swt telah memberitahukan bahwa sekelompok
Jin telah beriman dan mendengar kalam Ilahi, dan, mereka juga termasuk
sahabat”.[6]
Disisi lain masih ada ulama yang
memasukkan malaikat sebagai sahabat, seperti pendapat Syaikh Taqiyuddin. namun
demikian pendapat ini tergolong minoritas. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Razy
dalam kitabnya Asraru al-Tanzil, bahwa Nabi saw tidak di utus untuk malaikat.[7]
Selain tersebut diatas masih ada
lagi pendapat ulama tentang siapa yang dapat di golongkan sebagai sahabat.
Pendapat yang lebih longgar menyatakan bahwa syarat sahnya seseorang bisa
dikatakan sebagai sahabat yakni mereka yang sudah dewasa (pernah bermimpi) yang
pernah duduk bersama Nabi saw dalam suatu majlis, meskipun tidak lama. Pendapat
yang lain lagi menyatakan bahwa; sahabat adalah mereka yang sempat melihat Nabi
saw, dengan syarat orang tersebut sudah dewasadan dapat membedakan antara yang
baik dan buruk. Bila tidak memenuhi kriterian tersebut maka Ia tidak syah
disebut sebagai sahabat dan lebi tepat dikatakan tabi’in. [8]
Sementara itu, ada juga pendapat
yang lebih ketat agar dapat dikriteriakan sebagai sahabat, pertama, orang
lama menemani Nabi saw. Kedua, orang yang hafal riwayat hadis dari Nabi
saw. Ketiga, orang yang ikut berperang bersama Nabi saw. Dan keempat,
orang yang syahid ketika melakukan peperangan bersama Nabi saw. Sedangkan
yang dimaksud sahabat dalam pandangan jumhur ulama ushul fiqh adalah mereka
yang lama persahabatannya dengan Nabi saw dan berada dalam suatu masa. Hal ini
menunjukkan bahwa sahabat dalam pandangan ushuliyin diartikan bagi kaum
yang dikenal dengan lamanya berdiam bersama Nabidan keikut sertaannya dalam
perjalanan Nabi saw dan juga berperang bersama Nabi saw.[9] Pendapat
ini bertentangan dengan istilah yang masyhur menurut ahli hadits, yaitu bahwa
sahabat ialah orang ynag bertemu Nabi saw dan mati dalam keadaan Islam.[10]
Demikian pengertian sahabat yang
dapat penulis paparkan, namun berdasarkan pada apa yang telah penulis sampaikan
di atas secara umum bisa dikatakan bahwa mereka yang dapat disebut sebagai sahabat
adalah mereka yang pernah bertemu dengan Nabi dan beriman kepadanya.
C.
Keadilan Sahabat
Mempersoalkan
keadilan seluruh sahabat tentu bukan tanpa alasan, hal ini sangat mungkin
terjadi bila kita mau secara jujur melihat setiap detail dalam berbagai aspek
kehidupan mereka. Berikut penulis akan menyampaikan dua pandangan berbeda
tentang keadilan seluruh sahabat.
a.
keadilan Sahabat Menurut Ahlussunnah
kelompok ahlussunnah bersepakat
bahwa seluruh sahabat adalah orang yang adil. Meurut Ibn Hajar, tidak ada yang
berselisih pendapat tentang hal ini kecuali segelintir orang –yang di sebutnya
ahli bid’ah-, maka wajib bagi muslimin untuk meyakini sikap sahabat
tersebut karena telah ditetapkan bahwa seluruh sahabat adalah ahli surga, tak
seorangpun dari mereka yang akan masuk neraka.[11] Dalam
konteks ini yang dimaksud sahabat adalah setiap sahabat dalam pengertian yang
telah disebutkan pada penjelasan definisi sebagaimana disebutkan Ibn Hajar di
atas.
Pernyataan diatas didasarkan bahwa
keadilan sahabat telah ditetapkan Allah swt melalui penjelasan tentang
kesuciannya, dan mereka adalah orang-orang pilihan Allah swt. hal ini
didasarkan pada dalil al-Qur’an berikut;
Al-Baqarah : 143
. Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia
Ali Imran : 110
Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar,dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik
Al-Fath : 18
Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya
At-Taubah : 101
Di antara
orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan
(juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya.
Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui
mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan
kepada azab yang besar
Al-anfal : 64
Hai Nabi,
cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang
mengikutimu.
Al-Hasr : 8-10
(Juga) bagi
orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka
menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar
. Dan
orang-orang yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan
mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang
beruntung
Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa:
"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi maha penyayang
Al-Nisa’ : 94
. Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan
"salam" kepadamu, "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu
Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
Inilah dalil yang dijadikan landasan
bagi golongan ahlussunnah, sehingga ada pernyataan bahwa semua sahabat itu
adil, yang dimaksud dengan adilnya sahabat ialah sebagaimana yang dimaksud
dalam arti keadilan sahabat itu sendiri; yakni setiap orang yang sezaman dengan
Nabi saw; dilahirkan pada zaman Nabi saw, tidak pernah berdusta atau menipu,
dan –karena itu- tidak diperbolehkan untuk menyakitinya meskipun ia telah
berbuat yang tercela. sebenarnya apa rahasia yang terdapat dibalik sikap ahlusunah ini. Mereka berdalil
: Rasulullah adalah haq, al-Qur’an adalah haq, apa yang dibawa oleh Nabi saw
adalah haq, dan yang menyampaikan –ajaran Nabi- itu semua kepada kita adalah
para sahabat. Maka, siapapun yang melemahkan sahabat sebenarya mereka ingin
melemahkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena itu, mereka patut di aniaya, dan
mereka adalah kafir.[12] Namun demikian pendapat ini tidak bisa dianggap sebagai pendapat
yang telah final, karena pada kenyataannya, dalam perjalanannya ahlussunnah
mulai memberikan semacam pemetaan akan keadilan sahabat.
b. Pandangan Syi’ah tentang keadilan sahabat.
Dalam hal criteria tentang sahabat pada
dasarnya golongan Syi’ah tidak jauh
berbeda dengan golongan ahlussunah, yakni setiap orang yang bertemu
dengan Nabi saw dan beriman kepadanya serta meninggal dalam keadaan Islam. Akan
tetapi dalam hal keadilan sahabat mereka sangat jauh berbeda pendapat dengan
ahlussunnah. Dalam pandangan Syi’ah sahabat tidak semuanya bisa dikatakan adil,
mereka berpendapat bahwa keadilan dan orang yang adil adalah siapa saja yang
dianggap adil oleh Allah swt dan Nabinya. Dari uraian tersebut, kalangan Syi’ah
berpendapat bahwa hanya sahabat-sahabat yang jujur dan adil yang bisa diikuti
jalannya. Adapun sahabat-sahabat lain,
maka ukuran keadilannya adalah sejauh mana pemahaman mereka tentang
agama dan perilakunya dalam menjalankan syari’at.[13]
Kalangan Syi’ah berpendapat bahwa
pandangan ahlussunnah yang menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil telah dipengaruhi oleh kepentingan politik
dan yang terjadi pada masa kekuasaan khalifah Umayyah. Atau, paling tidak,
pandangan tersebut berada di bawah kendali mereka, sehingga dengan menggunakan
sarana informasi yang mereka miliki, kaidah-kaidah dan pandanagn mereka ini di
sebarkan dan diterima oleh generasi berikutnya dengan taqlid, atau di pengaruhi
oleh motif dan niat lain. selanjutnya
mereka juga berkata, ‘adapun pendapat yang diutarakan oleh sebagian ahli fiqh
yang memperkuat pandangan bahwa sahabat adalah orang-orang yang adil adalah
pendapat tanpa dasar nash syar’i”[14].
Namun demikian ada juga pendapat
Syi’ah yang menyatakan bahwa sahabat yang adil adalah mereka yang ikut berjuang
bersama Ali ra serta mengakui kewaliannya. Pendapat ini mereka sandarkan pada
alasan bahwa Ali ra adalah orang pertama yang masuk Islam, Ia juga wali Allah
swt, saudara Nabi saw dan berada dalam asuhannya sejak masih kecil, ayah dari
cucu Nabi, suami perempuan suci, panglima perang melawan kemusyrikan, panglima
pasukan muslim, pembunuh musuh Islam, orang yang paling jujur dan mampu
membedakan yang baik dan buruk, putra Abu Thalib –paman dan pelindung Nabi
saw-.
C.
Tingkatan Para Sahabat
Setelah megetahui dua pendapat yang
berbeda tentang keadilan seluruh sahabat, maka menarik bila kemudian dilakukan
sebuah pemetaan untuk melihat secara utuh bagaimana sebenarnya pendapat yang
menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil, setelah adanya berbagai pandangan
tentang hal tersebut.
Secara logika, factual dan syara’.
para sahabat tidak mungkin berada dalam satu tingkatan derajat yang sama,
diantara mereka ada yang termasuk dalam golongan orang-orang yang shadiq dalam
tingkat ke-shadiq-an yang beragam, begitu juga diantara mereka ada yang
termasuk golongan orang-orang yang kuat, lemah, dan munafik, dimana tingkat
kekuatan, kelemahan, dan kemunafikannya mereka berbeda-beda.
Al-Hakim daam kitabnya Musytadrak
mengklasifikasi sahabat sebagai berikut : (1) para Sahabat yang masuk Islam di
Mekah, sebelum melakukan hijrah seperti khulafa al-rasyidin, (2) para
sahabat yang mengikuti majelis darr al-Nadwah, (3) sahabat yang ikut
berbhijrah ke Habasyah, (4) sahabat yang ikut baiat Aqabah I, (5) aqabah II,
(6) para sahabat yang ikut hijrah ke Madinah, (7) Sahabat yang ikut perang
Badar, (8) sahabat yang hijrah antara perang badar dan perjanjian Hudaibiyah,
(9) sahabat yang ikut serta baiat Ridlwan, (10) sahabat yang hijrah
antara perjanjian Hudaibiyah dan Fath al-Makah.[15] (11) sahabat yang masuk Islam pada Fathu Mekah, seperti Abu
Sufyan dan Muawiyah, (12) bayi-bayi dan anak-anak yang pernah melihat Nabi pada
fathu Mekah.
Adapun orang pertama yang masuk
Islam adalah ummahatu al-mukminin Siti Khatijah, kemudian Ali ibn Abi Thalib
ra. Nabi resmi menjadi utusan Allah pada hari senin. Keesokan harinya, yakni
selasa, Ali Ibn Abi Thalib masuk Islam kemudian disusul oleh Zaid Ibn Haritsah
dan Abu Bakar.[16] Pembagian sahabat menjadi beberapa tingkat merupakan kenyataan dari
adanya perbedaan tingkat keistimewaan masing-masingdi antara masyarakat muslim
pengikut Rasulullah saw. Adalah tidak logis apabila orang ynag pertama masuk
Islam disamakan tingkat keadilannya dengan mereka yang masuk Islam belakangan
apalagi dalam keadaan terpaksa.
D.
Peranan sahabat Dalam Penyusunan Hadist dan Syari’at
Pada awal kehidupan para sahabat dan
generasi pertama tabiin, peranan sahabat terbatas pada penukilan perkataan dan
perbuatan Nabi saw, mereka menyelidiki para perawi untuk memastikan kejujuaran
mereka dan bahkan sebagian yang lain sampai mengambil sumpah pada para perawi
hadits, kebanyakan mereka menjauhi riwayat-riwayat beberap orang yang
diyakini sebagai pendusta kepada Nabi
saw.
Tidak demikian dalam perkembangan
berikutnya, setelah hadis-hadis tidak hanya berkisar seputar perataan dan
perbuatan Nabi saw pada masa generasi pertama sahabat, lambat laun hadis-hadis
itu berekembang dengan memasukkan pendapat dan fatwa sahabat. Hal ini bisa jadi
disebabkan karena semakin melebarnya pengaruh mazhab dan berkembangnya Islam.
Atau dengan alasan, tidak ditemukan nashnya
yang sesuai dengan kejadian atau untuk memutuskan suatu perkara, para
ulama mulai mengambil pendapat sahabat. Bahkan, mereka menjadikan pendapat para
sahabat sebagai sumber referensi ketiga setelah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ulama-ulama mazhab seperti Hanafi,
Maliki, dan Hanbali, sebagaimana terlihat dalam pengakuan mereka, serta ijma’
mereka dalam masalah fiqh, menempatkan kaul sahabat sebagai sumber rujukan.
Meskipun Abu Hanifah memandang bahwa qiyas merupakan sumber ketiga
setelah al-Qur’an dan Hadis dibandingkan dengan pendapat ulama, akan tetapi ia
tetap mengatakan, “jika aku tidak mendapatkan dalam kitabullah dan hadis Nabi
saw, maka aku akan mengambil perkataan para sahabat. Bahkan apabila para
sahabat berselisih pandanganpun dalam menghukumi suatu persoalan, maka aku akan
mengambil pendapat sesuai kehendakku, dan tentu membuang yang lain sekehendakku
pula, dan aku tidak akan keluar dari pendapat mereka untuk kemudian melirik
pendapat para thabi’in.[17]
Demikian halnya dalam pandangan Ibn
al-Qayyim dalam A’lam al-Muwaqqi’in disebutkan bahwa dasar-dasar hukum menurut
Ahmad Ibn Hanbal adalah ; Pertama, Nash al-Qur’an dan Hadits. Kedua, Fatwa
sahabat. Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa perbuatan sahabat dapat
mentakhsis al-Qur’an. Menurut mereka, seorang sahabat yang alim tidak akan
meninggalkan suatu perbuatan yang disebutkan dengan lafaz yang umum dalam
kitabullah, kecuali jika ada dalil. Sehingga perbuatan sahabat yang
bertentangan dengan keumuman kitabullah bisa dijadikan sebagai dalil takhsis-nya.
Mereka juga berpendapat bahwa perkataan
seorang sahabat adalah sama dengan perbuatannya dalam segi kedudukan hukum.[18]
Namun demikian masih saja saja ada
segolongan kaum yang melarang bersandar pada hadits saja, kecuali jika telah
ada ayat al-Qur’an yang memperkuat hadits tersebut, karena menurut mereka ,
al-Qur’an sudah memuat penjelasan berbagai persoalan, yang diturunkan dalam
bahasa Arab dengan tata bahasa yang dapat dipahami oleh orang Arab. Dan karena
hadits diriwayatkan dari Nabi saw oleh sahabat yang bisa saja melakukan dusta
dan berbuat kesalahan. Dalam berbagai kasus, para sahabat terkadang tidak
menerima sebagian riwayat dari yang lain, dan masing-masing mereka melakukan
sesuatu sesuai dengan hasil ijtihad mereka sendiri, yang terkadang membuat
mereka saling tuduh hingga menghalalkan darah sebagian yang lain.[19]
Kendati demikian, perkataan,
pendapat, dan ijtihad para sahabat dianggap sebagai dasar-dasar syari’at yang
sah menurut jumhur ulama, tentunya setelah kitabullah. Hanya saja, dalam waktu
yang lain mereka juga menganggap bahwa perkataan, pendapat, dan ijtihad para
sahabat itu seolah bagaikan wahyu yang turun dari langit tanpa cacat
sedikitpun. Wajarlah jika kemudian timbul sikap berlebihan dalam mensucikan
para sahabat menjangkiti umat dan dipergunakan secara lihai oleh mereka yang
berpura-pura menampakkan kecintaanya kepada Islam.[20] Sikap berlebihan ini semakin
memuncak bersamaan dengan munculnya beberapa mazhab fiqh. Karena bagaimanapun
juga seperti penulis sampaikan di awal bahwa sahabat merupakan tokoh sentral
sumber rujukan untuk melakukan berbagai kajian baik itu untuk kepentingan
hadits itu sendiri karena merekalah orang yang paling tahu dan memahami apa-apa
yang telah dilakukan oleh Nabi.
E.
Penutup
Berdasarkan pada apa yang telah
penulis paparkan di atas, nampaknya memang harus dinyatakan secara jelas bahwa,
anggapan seluruh sahabat itu adil adalah anggapan yang kurang layak. Karena hal
ini nampak pula bertentangan dengan berbagai fakta dan bukti sejarah bahkan
syara’.
Kalau dikatakan bahwa seluruh
sahabat itu adil, akan lebih tepat dianggap sebagai upaya politis. Penulis
melihat, isu ini sengaja di ciptakan oleh mereka yang mempunyai kepentingan
politik tertentu dengan mempengaruhi masyarakat untuk menerima bahwa pendapat
mereka itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam dan merupakan
akidah Ilahi. Bahkan sampai pada tingkatan tertentu ini menjelma sebagai dogma.
Yang, bagi siapa saja yang ragu atau keluar dari pendapat –seluruh sahabat adil-
, atau berusaha menyelisihi pendapat tersebut, maka ia dianggap sebagai orang
kafir yang tak patut di berikan perlindungan, nafkah, atau dishalati mayatnya
ketika meninggal.
Akhirnya, harus dikatakan juga bahwa
sahabat adalah orang yang berkedudukan mulia dan bermartabat tinggi, dimana
secara makna bahasa atau istilah yang telah disepakati para ulama itu berarti
mencakup seluruh muslim yang sezaman dengan Rasulullah saw. Artinya, mereka
adalah sahabat, yaitu karena : pertama, pernah bertemu dengan Rasululla
saw. Kedua, beriman dengan sebenarnya ; juga mencakup orang-orang ynag
hanya menampakkan keimanan pada Nabi saw masih hidup saja, seperti orang-orang
munafik, dan orang-orang yang pernah memerangi Islam tetapi kemudian terpaksa
memeluk Islam karena kekuasaan telah berada ditangan umat Islam. Hanya Allah
yang mengetahui segala niat mereka; dan ketiga, Orang-orang yang
meninggal dalam keadaan Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu al-Fadl al-Din Muhammad
Ibn Mukram, Lisan al-Arab, Darr al-Shadir, Beirut : 1986
Ahmad Husein Ya’kub, Nadzariyyah
‘Adallah al-Shahabah, Terj. Nashirul Haq, dkk, al-Huda, Jakarta : 2003
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Al-Ishabah fi Tamyiz
al-Shahabah, Darr al-Fikr, Beirut
: 1985
Al-Razy, Asraru al-Tanzil, Darr al-Fikr, Beirut : -----
Al-Suyuthi, Imam, Tarikh al-Khulafa' ,Darr
al-Qalam, Kuwait
: 1322 H
Al-Radhawi. Sayyid Murtadla
Araa’a al-Ulama al-Muslimun fii al-Taqiyah wa al-Shahabah Washiyatuna
al-Qur’an al-Karim, Darr al-Fikr, Beirut
: 1983
Al-Dualabi, al-Madkhal ila ‘Ilmi Ushul al-Fiqh,
----------, Beirut
: 1987
Khudari Biek, Muhammad, Ushul
Fiqh, Terj.Zaid al-Hamid, Raja Murah, Pekalongan : 1982
Khudari Biek, Muhammad, Ushul
Fiqh ,Darr al-‘Ilmiyah : Damascus ,
1987
Wahid, Abdul,
Khazanah Kitab Hadits, Ar-Raniry Press, Banda Aceh : 2008
[1] Abu al-Fadl al-Din Muhammad Ibn Mukram, Lisan
al-Arab, (Darr al-Shadir, Beirut : 1986), hal.915
[2] .
lihat dalam Ahmad Husein Ya’kub, Nadzariyyah ‘Adallah al-Shahabah, Terj.
Nashirul Haq, dkk, (al-Huda, Jakarta
: 2003), hal. 9
[3] .
Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Darr al-Fikr,
Beirut : 1985), hal. 101
[4] .
Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz--------.hal. 102
[5] .
untuk lebih jelasnya lihat dalam, Ahmad Husein Ya’kub, Nadzariyyah-------- hal.
11
[6] .
pendapat ini dinukil oleh Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya Al-Ishabah
fi Tamyiz--------.hal. 11
[7] .
al-Razy, Asraru al-Tanzil,(Darr al-Fikr, Beirut : -----), hal. 34
[8] .
lihat lebih lengkap dalam Ahmad Husein Ya’kub, Nadzariyyah-------- hal.12
[9] .
Muhammad Khudari Biek, Ushul Fiqh, Terj.Zaid al-Hamid,(Raja Murah,
Pekalongan : 1982), jilid II, hal. 36
[10] .
Muhammad Khudari Biek, Ushul Fiqh----------,Jilid II, hal. 36
[11] .
Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz--------.hal. 9-10
[12] .
Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz--------.hal. 20
[13] .
lihat lebih lengkap dalam Ahmad Husein Ya’kub, Nadzariyyah-------- hal.
69-71
[14] .
lihat dalam Ahmad Husein Ya’kub, Nadzariyyah-------- hal. 71
[15]
Pendapat ini bisa ditemukan dalam Imam al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa' ,(--------------------),
hal. 227-228
[16] .
untuk lebih jelasnya secara panjang lebar, dapat dilihat dalam Imam al-Suyuthi,
Tarikh al-Khulafa'------hal. 227
[17]
. pendapat ini bisa dilihat dalam Ahmad Husein Ya’kub, Nadzariyyah--------
hal. 59-60
[18].
Pendapat ini dikutip oleh Ahmad Husein Ya’kub, Nadzariyyah-------- hal.
60, yang di ambil dari kitab Araa’a al-Ulama al-Muslimun fii al-Taqiyah wa
al-Shahabah Washiyatuna al-Qur’an al-Karim, karya Sayyid Murtadla
al-Radhawi. Hal. 100
[19] .
lihat al-Dualibi, al-Madkhal ila ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, (----------, Beirut : 1987), hal.217
[20] .
Husein Ya’kub, Nadzariyyah-------- hal. 60,