A. TEORI PEMBUKTIAN
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai
berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam
pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu:
1)
Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak
menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian
pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki
jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim
dalam mencari kebenaran.
Teori ini menghendaki agar
penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan, sehingga hakim tidak
terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara. Misalnya
hakim tidak terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan
100 saksi, dapat saja hakim menilai masih belum terbukti.
Dalam hal ini tidak
mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara sesama hakim,
sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian
hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.
2)
Teori Pembuktian Terikat
Artinya hakim terikat
dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi harus
memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.
Teori ini menghendaki agar
penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian hukum, misalnya hakim
terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya apabila
pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila ia menolak
sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa
digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang
saksi saja sebagai “Unus Testis Nullus
Testis”.
Kelemahan teori ini adalah
tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menjadi 2 macam:
-
Teori
Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang
mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian
(ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).
-
Teori
Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya
perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165
HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
3)
Teori Pembuktian Gabungan
Artinya Hakim bebas dan
terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas menilai suatu alat
bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila sumpah
tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah
tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.
B.
PERBANDINGAN ALAT BUKTI HUKUM ACARA PTUN DAN HUKUM ACARA
PERDATA
1.
Alat
Bukti PTUN Menurut Pasal 100 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 :
a.
Surat
atau tulisan
Surat sebagai alat bukti ada 3:
a. Akta aotentik, yaitu surat yang dibuat oleh
atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut perturan perundang-undangan
yang berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan alat bukti
tentang peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
b. Akta dibawah tangan yaitu surat yang di buat
dan di tandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
digunakan sebagi alat bukti.
b.
Keterangan
Ahli
Pendapat orang yang diberikan sumpah dalam
persidangan dalam tentang hal yang ia ketahui menurut pengetahuan dan
pengalamnanya. Pasal 88 UU PTUN menjelaskan tidsak boleh mendengarkan
keterangan ahli. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya hakim ketua sidang dapat menunjuk seorang atau beberapa ahli.
c.
Keterangan
Saksi
d.
Pengakuan
para pihak
Pengakuan dari para pihak tidak dapat ditarik
kembali kecuali dengan alasan yang kuatdan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan
adalah meruapakan pernyataan sepihak sehingga tidak memerlukan persetujuan dari
para pihak lain terutama dari pihak lawannya. Pengakuan secara lisan harus
dilakukan dalam persidangan dan tidak boleh diluar persidangan. Pengakuan
secara tertulis boleh dilakukan diluar persidangan dan dihadapan hakim.
e.
Pengetahuan
hakim
Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dimaksud
pengetahuan hakim dalah hal yang dialami oleh hakim sendiri selam pemeriksaan
perkara dalam sidang. Missal kalau salah satu pihak memajukan sebagai bukti
suatu gambar atau suatu tongkat, atau hakim melihat keadaan suatu rumah yang
menjadi soal perselisihan d itempat.
2.
Alat
Bukti Hukum Acara Perdata Menurut Pasal 1866 KUHPerdata :
a.
Surat
b.
Saksi
c.
Persangkaan
d.
Pengakuan
e.
Sumpah
Sistem
Pembuktian dalam Hukum Acara PERDATA
Dalam
hukum acara perdata dianut system pembuktian positif, artinya :
-
system pembuktian
yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yang ditentukan oleh
Undang-undang;
-
suatu gugat
dikabulkan hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah, keyakinan hakim
diabaikan.
-
pada pokoknya suatu
gugatan yang sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah,
gugatan harus dikabulkan;
-
hakim laksana robot
yang menjalankan UU, namun ada baiknya system pembuktian ini, yakni hakim akan
berusaha membuktikan dalil-dalil gugatan atau jawaban tanpa dipengaruhi oleh
nuraninya, sehingga benar-benar objektif, yaitu menurut Undang-undang;
-
dalam system
pembuktian positif yang dicari kebenaran formil;