HUKUM PERTANAHAN

Jika Sebuah kasus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 3 UUPA  jo.Pasal 1 angka 2 dan 3 Permen Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999. Apa yang dilakukan warga dengan memprotes tindakan lurah yang menyertifikatkan lahan umum menjadi lahan milik pribadi ini terkait dengan tanah hak ulayat. Yang dengan jelas telah diatur dalam pasal 1 angka 2 Permen Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 yang berisi bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum tertentu. Jadi disini warga berhak menggunakan lahan publik tersebut untuk melaksanakan aktivitas sosial ataupun untuk kepentingan-kepentingan yang lain selama lahan ini masih milik masyarakat. Tetapi apa yang telah dilakukan lurah secara sepihak itu telah melanggar ketentuan hak ulayat dan ketentuan undang-undang itu sendiri. Wajar ini semua membuat warga mengamuk dan melakukan aksi penyegelan karena lurah itu telah melakukan kesewenang-wenangan. Bukan dengan cara sepihak lurah dengan begitu saja menyertifikatkan lahan umum menjadi lahan milik pribadi, semua ada aturannya baik dalam hukum adat ataupun dalam undang-undang yang berlaku. Apalagi lahan umum ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dan secara jelas telah dijelaskan dalam pasal 3 UUPA yang intinya pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

      b)   Dasar hukum pemberian hak atas tanah kepada perseorangan atau badan hukum diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUPA jo. Pasal 2 ayat (1) Permen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999.

                        Jika ada Kepala daerahatau desa mengabil alih tanah milik seorangyang belum memiliki bukti kepimilikan tanah maka tindakan sepihak yang dilakukan oleh lurah atau bupati itu telah menyalahi aturan yang ada baik hukum adat maupun undang-undang. Telah dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Dan dijelaskan pada pasal Pasal 2 ayat (1) Permen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 yang berbunyi Dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/kotamdya. Disini lurah juga harusnya mengikuti kedua pasal yang ada diatas bahwa pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/kotamdya, tidak dengan dilakukan secara sepihak yang seenaknya menyertifikat lahan milik umum dengan lahan milik pribadi dengan tidak mengikuti aturan-aturan yang ada. Apa yang dilakukan lurah ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat melaksanakan aktifitas sosial.

2.      a)   Pada Orde Baru banyak terjadi tindakan penguasaan sepihak negara atas tanah-tanah rakyat.

                        Hal ni dikarenakan pada pemerintahan Orde Baru sangat keras dan semuanya tunduk dengan pemerintahan pusat. Ini dilakukan sepihak karena pemerintah pada waktu itu ingin menguasai tanah tersebut dan memberikan kesempatan kepada perusahaan besar untuk mengelola tanah atau melakukan kegiatan pembangunan lainnya, sehingga pemerintah mendapatkan keuntungan besar-besaran dari para perusahaan besar. Padahal tanah yang diambil alih itu dipergunakan masyarakat untuk mencari penghidupan dari pertanian karena pada waktu itu mata pencaharian mereka sebagian besar adalah bertani. Namun atas kesewenangan-wenangan tersebut, masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa, karena apabila mereka protes, maka kekerasanlah yang diterima. Seperti yang terjadi pada insiden Alastlogo. Dalam hal ini terjadi pengeksploitasian secara besar-besaran untuk kepentingan pemilik modal besar tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat. Harusnya pemerintah tidak berbuat seperti itu, pemerintah harus mengikuti aturan-aturan tertentu seperti memberikan ganti rugi yang layak kepada pemilik tanah. Tapi ini tidak dilakukan pemerintah pada waktu itu. Dan setelah reformasi serta adanya keterbukaan demokrasi membuat masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan aspirasinya. Sehingga munculllah perebutan kembali lahan oleh masyarakat.

Dasar hukum pemerintah ketika melakukan tindakan tersebut adalah pada Pasal 1 ayat (2), pasal 2 ayat (1), dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

b)      Ketentuan pada Pasal 6 UUPA “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” menurut saya  meskipun tanah itu milik pribadi tidak boleh hanya untuk kepentingan pribadinya itu sendiri, apalagi yang dapat merugikan kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akn tercapailah tujuan untuk kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat. Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya dan dapat dicegah kerusakaannya.