STATUS ANAK ZINA YANG IBUNYA MENIKAH DENGAN PRIA LAIN (BUKAN AYAH BIOLOGISNYA)

Ada dua pendapat: 

Pertama, status anak yang dilahirkan tetap sebagai anak zina. Dan karena itu dinasabkan pada ibunya. Bukan pada pria yang menikahi ibunya karena faktanya ia bukan ayah biologisnya. Apabila anak tadi terlahir perempuan, maka yang menjadi walinya adalah wali hakim atau pejabat KUA (Kantor Urusan Agama). 

Kedua, menurut madzhab Hanafi, anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut.
Firman Allah :
ﺍﻟﺯﺍﻧﻲﻻﻴﻨﻜﺢإﻻﺯﺍﻧﻴﺔأﻮﻤﺸﺭﻛﺔﻮﺍﻟﺯﺍﻧﻴﺔﻻﻴﻧﻜﺣﻬﺎﺇﻻﺯﺍﻧﻰﺃﻮﻤﺸﺮﻚﻮﺣﺮﻢﺫﺍﻟﻚﻋﻟﻰﺍﻟﻤﺅﻤﻧﯿﻥ
“Az- Zaanii laa yankihu illaa zaaniyatan au musyrikah, Wazzaaniyatu laa yankihuhaa ilaa zaanin au musyrik. Wa hurrima dzaalika alal mu’miniin”.  (An- Nuur 2).
Artinya:
Para penzina laki- laki itu tidak (boleh) kawin kecuali dengan penzina wanita atau para wanita musyrik, dan para penzina wanita itu tidak (boleh) nikah kecuali dengan penzina laki- laki atau laki- laki musyrik. Dan diharomkan semuanya itu bagi orang- orang mu’min.
Firman Allah:
ﺍﻟﺨﺑﯿﺜﺖﻟﻟﺨﺑﯿﺜﯿﻥﻭﺍﻟﺨﺑﯿﺜﻮﻥﻟﻟﺨﺑﯿﺜﺖ…………..
” Al- Khobiitsaatu lil khobiitsiina wal Khobiitsuuna lil khobiitsaat….” (An- Nur 26).
Artinya:
Wanita- wanita tak bermoral  itu pasangannya adalah laki- laki tak bermoral, sebaliknya laki- laki tak bermoral itu pasangannya adalah para wanita tak bermoral………
Firman Allah:
ﻮﺃﻧﻜﺢﺍﻷﯿﺎﻤﻰﻤﻨﻜﻡﻮﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦﻤﻦﻋﺑﺎﺪﻛﻡﻮﺇﻤﺎﺌﻛﻡ………
“Wa ankihul ayaamaa minkum was shoolihiina min ibaadikum wa imaa’ikum …”
(Q.S.An-Nur 32).
Artinya:
“Dan Nikahkanlah orang- orang yang sendirian  dari kamu sekalian  dan  hamba- hamba sahaya  priya  kalian yang sholih- sholih  dan (juga) sahaya- sahaya  wanita kalian…

Hadist Nabi: Man kaana yu’minu billaahi wal yaumil Aakhiri falaa yasqi maa- ahuu zar’a ghoirihi.
ﻤﻦﻜﺎﻥﻴﺆﻤﻦﺑﺎﻠﻠﻪﻮﺍﻟﻴﻮﻡﺍﻷﺧﺭﻔﻼﻴﺴﻖﻤﺎﺌﻪﺯﺮﻉﻏﻴﺭﻩ
Artinya:
Barang siapa ber-iman kepada Allah dan Rasulnya, maka janganlah  ia “mengairi dengan air (mani) nya pada tanaman (janin) orang lain.
Yusuf bin Ismail Al- Nabhani Al- Fath al- Kabir (Dar Al- Arqom, Beirut).
Hadist yang semakna: La yahillu li- imri-in yu’minu billaahi wal yaumil aakhiri an yasqiya maa-ahuu zar’a ghoirihii.
ﻻﻴﺤﻞﻹﻤﺮﺉﻴﺆﻤﻦﺑﺎﻠﻠﻪﻮﺍﻠﻴﻮﻢﺍﻷﺨﺭﺃﻦﻴﺴﻗﻲﻤﺎﺋﻪﺯﺮﻉﻏﻴﺭﻩ
Artinya:
“Tidak halal bagi seseorang yang percaya pada Allah dan hari akhir untuk mengairi (dengan   air mani) , tanaman (janin)  orang lain”. H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
An A’isyah  RA. Qoolat:  Su-ila Rasuululloh SAW an rojulin zanaa bi imro-atin wa arooda an yatazawwajahaa. Faqoola:
ﺃﻭﻠﻪﺴﻔﺎﺡﻭﺃﺨﺭﻩﻧﻜﺎﺡ. ﻭﺍﻠﺤﺮﺍﻡﻻﻴﺤﺮﻡﺍﻠﺤﻼﻞ
“Awwaluhuu sifaahun wa- aakhiruhuu nikaahun. Wal haroomu laa yuhrimu al- halaala”. Akhrojahuu At- Thobroniy  wa  Ad- Daaruquthniy.
Artinya:
Dari A’isyah RA, Rasululloh ditanya tentang seorang laki- laki yang berzina dengan seorang wanita dan dia bermaksud menikahinya. Maka Rasululloh menjawab: ” Awalnya adalah  kumpul kebo (SIFAAH) dan akhirnya adalah sebuah pernikahan. Sesungguhnya  perbuatan harom itu tidak dapat menghalangi  terjadinya (pernikahan) yang halal”. H.R.At- Thobarony dan Ad- Daaruquthniy.
Menurut hadist ini Rasulullah pernah memberi izin pernikahan wanita hamil zina walaupun tentu saja  HUKUM HAD nya tetap berlaku.
‘An Abi Hurairoh RA, Qoola Rasuululloh SAW:
ﺍﻠﻭﻠﺪﻠﻠﻔﺮﺍﺶ ﻭﻠﻠﻌﺎﻫﺮﺍﻠﺤﺠﺮ
“Al- Waladu lil firoosyi wa lil ‘aahiri al- hajaru. As- Shon’ani, Subulus Salam III/210.
Artinya:
Dari Abi Hurairoh RA, Rasululloh bersabda: “Anak itu (dinasabkan) kepada Suami ibunya, sedang si penzina harus dihukum (dera/ rajam)”. Lihat Subulus Salam III/ 210.
Boleh atau tidakkah menikahkan wanita yang sedang hamil zina?
Jumhur Ulama kebanyakan membolehkan mengawini wanita hamil zina seperti pendapat
Imam  Abu Hanifah, Syafi’I,  Ibnu Hazm dari kelompok Ad- Dhohiri, dll.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Maliki melarangnya.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal  mendasarkan larangannnya pada maksud lahir ayat- ayat tersebut dan hadist- hadist yang melarang membuahi janin yang sudah ada dari hubungan si wanita dengan orang lain.
Adapun Abu Hanifah dan dan Ibnu Hazm, walau membolehkan perkawinannya, namun me           reka melarang persenggamaan antara suami  istri tersebut sampai si wanita melahirkan anaknya, karena larangan Nabi untuk membuahi janin orang lain berlaku juga bagi wanita yang dihamili tanpa nikah, maka suaminya yang menikahinya dianggap orang lain, walau wujud orangnya sama.
Sedang  As- Syafi’I membolehkan persenggamaan mereka karena tujuan nikah adalah menghalalkan persenggamaan.  Dari Ikhtilaf ini Imam Nawawi (dari madzhab Syafi’i) menyatakan:  hukum persenggamaan itu makruh (sebaiknya jangan dilakukan sampai sang bayi lahir)  berdasarkan Qoidah: Al- Khuruj minal Ikhtilaaf Mustahab (Keluar dari perbedaan pendapat itu sangat dianjurkan). Lihat Al- Majmu’ Lin- Nawawi.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (K.H.I) Indonesia.
Setelah memperhatikan semua ikhtilaf tentang ini dan setelah mempertimbangkan segala aspek hukum, sosial dan kemasyarakatan serta berdasarkan asas MASLAHAH MURSALAH (kepentingan umum), dimana diharapkan:
# Ada orang tua yang nantinya akan bertanggung jawab atas  segala pengasuhan dan
pendidikan anak-anaknya sampai ia dewasa.
# Si pelaku perzinahan mendapatkan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki segala
Perilaku buruknya dengan membina keluarga yang sah, terhormat  dan dilindungi hukum.
# Mengembalikan harkat martabat dan kehormatan  keluarga besarnya dan menutupnya
dari AIB keluarga tersebut atas perilaku salah satu dari angota keluarga tersebut, maka:
K.H.I  (Kompilasi Hukum Islam) Indonesia menetapkan KEABSAHAN pernikahan antara
seorang laki- laki dengan  wanita YANG TELAH HAMIL ZINA, dan menuangkannya pada BAB
VIII pasal 53 ayat 1 ~ 3  demikian:
  1. Seseorang wanita hamil  diluar nikah dapat dikawinkan dengan LAKI- LAKI YANG MENGHAMILINYA.
  2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
  3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Status anak dari HAMIL ZINA
Adapun anak dari hasil hubungan ZINA, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan dengan dua kemungkinan, yakni:
  1. Bila anak tersebut lahir 6 (enam) bulan LEBIH  setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada Suami yang telah mengawini  ibunya itu.
  2. Bila anak tersebut lahir KURANG 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab anak tersebut adalah KEPADA IBUNYA.

Hal ini bersesuaian dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya Syekh Muhammad Zaid
Al- Abyani  yang menyatakan bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari  =
6 bulan. Para Ulama’ mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing
dari Surat Al- Ahqoof 15 dan Surat Luqman ayat 14.
ﺤﻤﻠﻪﻭﻔﺼﺎﻟﻪﺜﻼﺜﻮﻦﺸﻬﺮﺍ………(ﺍﻷﺤﻘﺎﻒ١٥)
ﻮﻔﺼﺎﻟﻪﻔﻰﻋﺎﻤﻴﻦ……………………(ﻟﻗﻤﻦ١٤)
Menurut Surat Al- Ahqoof 15, waktu mengandung dan menyapih = 30 bulan
Menurtut Luqman 14, waktu menyapih itu =…………………………………= 24 bulan
Jadi waktu hamil minimal = …………………………………………………………….=  6 bulan
Sesuai dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Hanifah menghitung jumlah 180 hari itu dari
PERNIKAHAN, bukan dari mulainya hubungan sekssual diantara kedua orang tua biologisnya.
Catatan penting:
Maka pada kasus no. 2 , yakni jika si anak lahir kurang dari 6 bulan, bila si anak terlahir perempuan, jika ia nanti setelah dewasa hendak menikah, maka walinya bukan suami ibunya namun WALI HAKIM. Tentu saja anak tersebut secara syar’I tidak mendapatkan hak waris sebagai anak yang sah dari suami ibunya itu bila nanti suami ibunya meninggaldunia dan meninggalkan harta warisan, terkecuali bila yang meninggal itu sebelumnya telah IQROR (membuat pernyataan) bahwa anak tersebut diakui sebagai anaknya sebagaimana diterangkan oleh  Badran Abu Al-Ainain sebagai konsekwensi kebalikan pada kasus anak LI’AN (suami yang menuduh istrinya mengandung bukan dari dirinya).
Namun demikian ada beberapa perbedaan pandangan tentang hal ini yang mengacu dari beberapa kejadian dimana terjadi kasus- persengketaan nasab anak- anak yang dibawa kepada keputusan Nabi  seperti kasus persengketaaan antara Sa’ad bin Abi Waqosh dan Abdu bin Zam,ah atau seperti apa  yang diputuskan Umar bin Al- Khottob tentang anak- anak jahiliyyah yang terlahir dari kebiasaan wanita- wanita mereka kumpul kebo dengan banyak lelaki, dimana Nabi dan Umar bin Al- Khottob memutuskan bahwa anak tersebut (TANPA  MELIHAT  UMUR  KEHAMILAN) adalah  anak SUAMINYA  YANG SAH, SESUAI SABDA Rasul dalam suatu peristiwa persengketaan tersebut diatas  dalam riwayat yang panjang, diantaranya:
ﺍﻟﻮﻠﺪﻟﻟﻔﺮﺍﺶﻮﻠﻠﻌﺎﻫﺮﺍﻠﺤﺠﺮ  . ﺮﻮﺍﻩﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔﺍﻻﺍﻟﺗﺮﻤﺬﻱ
“Anak itu dinasabkan kepada  SUAMI  IBUNYA , sedangkan bagi si pelaku zina dia harus dihukum (dera/rajam)”. Hadist riwayat Jama’ah  ahli hadist terkecuali Turmudzi.
Wallohu A’lam.
Disarikan dari: “Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil”,karya: Dr. Mulkhlisin Muzarie, Ro’is Aam Tanfidhiyyah DPP Jama’ah Rifa’iyyah.
Kesimpulan Pembahasan:
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut:
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam: Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikahdan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya: “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”
Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama.
Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat: “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.
Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَاامْرَأَةٍنَكَحَتْبِغَيْرِإِذْنِوَلِيِّهَافَنِكَاحُهَابَاطِلٌفَنِكَاحُهَابَاطِلٌفَنِكَاحُهَابَاطِلٌفَإِنْدَخَلَبِهَافَلَهَاالْمَهْرُبِمَااسْتُحِلَّمِنْفَرْجِهَافَإِنْاشْتَجَرُوْافَالسُّلْطَانُوَلِيُّمَنْلاَوَلِيَّلَهَا
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Syafi’iy sebagaimana dalamMunadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalamMushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalamMusnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsanno. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddahhukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
وَآتُواالنِّسَاءَصُدَقَاتِهِنَّنِحْلَةً
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa`: 4)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّفَرِيْضَةً
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`: 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
Lihat: Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105.
Footnote:
[1] Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Nailul Author 4/438: “‘Iddahadalah nama bagi waktu penungguan seorang perempuan dari menikah setelah suaminya meninggal atau (suaminya) menceraikannya. Apakah dengan melahirkan,quru` (yaitu haid menurut pendapat yang kuat-pen.) atau dengan beberapa bulan.”